Daripada sakit hati
Lebih baik sakit gigi ini
Biar tak mengapa
Rela rela rela aku relakan...
Begitulah kutipan lagu dangdut legendaris yang dinyanyikan almarhum Meggy Z. Saya pribadi belum pernah sakit gigi seumur hidup saya. Namun, kalau sampai beliau bilang lebih baik sakit gigi daripada sakit hati, mungkin saya masih setuju.
Saya masih ingat ketika bulan Oktober 2018 lalu saya menempuh sebuah hidup baru. Setelah enam tahun bersama, saya memutuskan untuk kembali menyendiri alias menyandang status jomblo alias putus dengan kekasih saya waktu itu. Hancur? Pasti. Sedih? Bukan main. Menyerah? Saya rasa tidak.
Perubahan yang cukup mendadak ini memang membawa gelombang yang mengejutkan karena begitu banyak hal yang akhirnya jadi "baru" lagi untuk saya jalani. Misalnya, makan malam sendirian dan tidur tanpa mengucapkan selamat malam di chatroom kami.
Di tengah usaha saya untuk membangun kembali kepingan hati yang berserakan di berbagai tempat di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Banyuwangi, Lombok, dan Labuan Bajo, terselip sebuah fakta yang cukup menyenangkan.
Secara mengejutkan, berat badan saya turun 8 Kg dalam 3 minggu saja. Jujur, tak ada usaha berarti dari saya yang kala itu memang menyandang status obesitas untuk menurunkan berat badan. Hanya dua hal yang saya rasakan saat itu: susah tidur dan tidak gampang lapar.
Lantas sebenarnya apa yang membuat tubuh saya tiba-tiba kooperatif untuk membuang kelebihan energi? Ataukah sebenarnya 8 Kg itu hanyalah air mata dan harapan saya yang begitu besar akan hubungan tersebut?
Sebagai makhluk yang tengah berkabung saat itu, tentu saya terima saja kenyataan pahit-manis itu tanpa mencari tahu apa penyebabnya. Tapi karena sekarang saya (akhirnya) sudah move on, saya memutuskan untuk menggali lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi kepada #sobatambyar ini tepat satu tahun lalu.
Oke, pencarian saya mendarat kepada sebuah riset yang dilakukan oleh Tiffany Field dari University of Miami, Amerika Serikat, pada tahun 2011. Dalam penelitian berjudul "Romantic Breakups, Heartbreak and Bereavement" yang dimuat dalam jurnal psikologi ini, Field berhipotesa bahwa putus hubungan romantik dapat diikuti oleh bereavement symptoms alias sindrom kehilangan akut. Sindrom ini biasanya dirasakan oleh orang yang ditinggalkan oleh orang yang dicintai untuk selama-lamanya.
Dari sejumlah gelaja yang timbul, gangguan tidur adalah salah satu yang paling umum ditemukan setelah seseorang patah hati. Dalam penelitian yang sama, tercatat sekitar 43 persen subjek penelitian acuan merasakan hal tersebut. Lebih lanjut, gejala lain yang juga timbul dan memperburuk kualitas tidur sang korban adalah pikiran yang timbul sebelum atau bahkan saat tidur.
Sialnya, usaha kita untuk menghalau pikiran tersebut ternyata tidak membuatnya lebih baik. Sebaliknya, usaha ini hanya memindahkan pikiran tersebut ke alam bawah sadar ketika tidur, alias terbawa mimpi. Malang sekali, bukan?