Lihat ke Halaman Asli

Tiara Fitriyani

sedikit cemas, banyak tertawanya

Shibori dan Rona Biru yang Menghipnotis

Diperbarui: 9 Oktober 2019   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Dianggap sebagai salah satu teknik pewarnaan indigo paling tua di Jepang, sejatinya shibori berasal dari Cina. Pada zaman Edo, atau sekitar abad ke 16 dan 17, kain bercorak shibori menjadi primadona di kalangan kelas sosial bawah masyarakat Jepang. Bukan tanpa alasan, kala itu mereka memang membutuhkan alternatif untuk menggantikan kain sutra yang haram dikenakan olehnya.

Shibori sendiri berasal dari kata “shiboru” yang dalam bahasa Jepang memiliki makna harafiah “memeras”. Ya, dalam proses pembuatannya sendiri pun memang melibatkan adegan pemerasan di samping menyimpul dan mengikat. Lantas, apa bedanya shibori dengan tie dye yang sempat populer dan lekat dengan potret anak reggae? Jika dilihat sekilas, memang ada resemblance antara kedua teknik ini.

Perbedaan mendasarnya terletak pada penggunaan warna. Jika tie dye dikenal dengan warna-warni pelangi yang meriah dan psychedelic, umumnya shibori tampil lebih sederhana dengan satu warna saja.

Oke, cukup sampai di situ saja perkenalannya. Jujur, saya pun belum genap dua bulan menggemari rona biru kain ini, jadi masih banyak sekali yang bisa saya gali tentangnya.

Nah, sekitar satu bulan lalu saya pun berkesempatan mengikuti sebuah workshop membuat shibori pada sehelai scarf. Berawal dari iseng-iseng saja, ternyata hasil akhirnya cukup membuat hati saya senang. Sebuah cara yang baik untuk membangun kehidupan di luar pekerjaan, pikir saya waktu itu.

Saya membayar biaya workshop sebesar Rp 300 ribu untuk mendapatkan satu set peralatan shibori, yakni sehelai scarf, dua potong papan kayu mini berukuran sekitar 10 cm x 10 cm, seonggok karet gelang, dan makanan ringan beserta minumannya.

Buat saya, angka tersebut adalah harga yang pantas untuk wawasan baru yang bisa saya praktikkan berulang-ulang di masa depan.

Menurut sumber yang saya baca, ada enam teknik utama dalam praktik shibori tradisional. Dalam workshop yang saya ikuti, ada tiga teknik yang kami terapkan yakni Kumo, Itajime, dan Arashi.

Singkat cerita, jadilah kami mengikuti langkah demi langkah untuk membuat shibori. Setelah dijelaskan oleh para mentor tentang teknik pengaplikasiannya, saya dan sekitar sepuluh peserta lainnya mulai sibuk membuat simpul di atas scarf masing-masing.

Teknik pertama yang kami buat adalah kumo yang paling sederhana. Cukup dengan melipat permukaan kain membentuk kerucut kecil lantas mengikatnya erat-erat dengan karet gelang. Harusnya motif yang dihasilkan adalah berupa bentuk simetris dengan gurat lurus di porosnya.

Teknik selanjutnya yang lebih membutuhkan ketelitian adalah itajime. Saya melipat scarf seperti lipatan kipas mengikuti ukuran papan kayu cetakan. Setelahnya, saya letakkan kain tersebut di antara papan kayu dan mengikatnya dengan karet gelang agar tidak terlepas dan membentuk motif persegi sesuai cetakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline