Lihat ke Halaman Asli

Tiara Ashila Syifanaya

Mahasiswa S1 Antropologi Universitas Airlangga (tiara.ashila.syifanaya-2021@fisip.unair.ac.id)

Implikasi Pendidikan Literasi pada Orang Rimba terhadap Ekologi Hutan dalam Film "Sokola Rimba"

Diperbarui: 7 Juni 2023   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film "Sokola Rimba" (Sumber: Miles Films, untuk Netflix)

Film "Sokola Rimba" merupakan film yang diangkat dari kisah nyata, yang bercerita tentang Butet Manurung, seorang antropolog dan aktivis sosial, yang mengajar anak-anak Suku Anak Dalam dan mendirikan sekolah baca dan hitung di pedalaman hutan Bukit Duabelas, Jambi. "Sokola Rimba" telah tayang pada tahun 2013 silam dan disutradarai oleh Riri Riza. Film ini mengadaptasi dari buku catatan etnografi Butet Manurung dengan judul yang sama.

Butet Manurung (yang diperankan oleh Prisia Nasution dalam film) bekerja sebagai peneliti untuk Wanaraya. Selama bekerja, ia telah menghadapi berbagai tantangan selama ia melakukan "misi" pendidikannya—yang sebenarnya adalah keinginannya pribadi, bukan tugas resmi dari tempat ia bekerja. Selama mengajar, ia dipertemukan oleh Nyungsang Bungo, seorang anak Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, yang tinggal di Makekal Hilir.

Kegiatan ajar-mengajar yang dilakukan Butet memberi dampak positif, khususnya pada Nyungsang Bungo. Bungo yang telah bisa membaca berkat Butet, bisa melindungi komunitas adatnya dari orang luar yang berniat untuk merusak lingkungan alam tempat komunitasnya tinggal dan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat Suku Anak Dalam akibat buta huruf.

Orang-orang luar—digambarkan sebagai orang Jawa dalam film "Sokola Rimba"—datang ke hutan Bukit Duabelas untuk menebang pohon secara liar. Nyungsang Bungo yang bersikap tertutup saat awal menemui Butet seakan menyiratkan bahwa ia dan komunitasnya telah dikhianati oleh orang luar, sehingga ia bersikap defensif dengan orang luar siapa pun itu. Bungo memang mendekati Butet untuk belajar membaca, demi bisa membaca secarik kertas perjanjian yang ia dan Tumenggung—tetua adat komunitas—sama-sama tidak bisa baca.

Komunitas Suku Anak Dalam yang tinggal di hutan Bukit Duabelas dikepalai oleh seorang tetua adat yang disebut Tumenggung. Tumenggung lah yang berperan sebagai perantara antara komunitasnya dan orang luar. Namun, tidak semua Tumenggung bisa membaca, sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang luar untuk merusak lingkungan hutan. Orang luar mengantongi surat perjanjian yang ditandatangani oleh Tumenggung yang tidak bisa membaca dan tidak mengerti isinya. Dengan pelajaran baca-tulis yang dilakukan oleh Butet, komunitas Suku Anak Dalam bisa melindungi wilayah hutan yang mereka kuasai dan mereka jaga.

Butet Manurung yang mengajarkan baca, tulis, dan berhitung kepada anak-anak Suku Anak Dalam telah memberdayakan mereka untuk bisa menjaga hutan tempat tinggal mereka. Butet bersama empat rekannya, kini telah mendirikan organisasi nonprofit Sokola Insitute yang kegiatannya berfokus pada pendidikan masyarakat adat terpencil dan kelompok marjinal di Indonesia. 

Sokola Institute percaya bahwa masyarakat adat bisa berdikari atas wilayah dan sumber daya alam yang mereka punya dengan adanya proses belajar. Harapannya, dengan pendidikan bagi masyarakat terpencil dan marjinal, mereka bisa merawat keberlangsungan hidup komunitas dan ekologi lingkungan mereka dengan basis sistem pengetahuan lokal, serta bisa beradaptasi dengan adanya perubahan modern.

Referensi

Riza, R. (2013) Sokola Rimba. Indonesia: Miles Films. Tersedia pada: https://www.netflix.com/title/81016324.

Sokola Institute (2023) About Us | SOKOLA INSTITUTE. Tersedia pada: https://www.sokola.org/home (Diakses: 7 Juni 2023).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline