Lihat ke Halaman Asli

Tiara Ashila Syifanaya

Mahasiswa S1 Antropologi Universitas Airlangga (tiara.ashila.syifanaya-2021@fisip.unair.ac.id)

Cancel Culture dalam K-Pop: Sebuah Respons Masyarakat atas Kontroversi

Diperbarui: 30 Juni 2022   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam sebuah industri yang sangat mementingkan citra, satu kesalahan yang dapat menghancurkan citra tersebut dapat merugikan idola K-pop dalam karir mereka. Tak jarang pula, kontroversi menimpa mereka dan merusak karir yang telah mereka bangun, terlepas dari kebenaran kontroversi tersebut. Masyarakat sering terlanjur mengambil kesimpulan sebelum kebenaran dari kontroversi terungkap. Namun, dalam sudut pandang masyarakat, cancel culture merupakan respons berupa kekecewaan mereka terhadap kontroversi kepada figur berpengaruh yang mereka telah pilih untuk dipercayai.

Cancel culture adalah sebuah perilaku kolektif yang memutuskan bahwa seseorang atau sesuatu sudah tidak layak untuk mendapat dukungan dan perhatian karena mengandung nilai yang menghina atau menyakitkan hati (Clark, 2020). Boikot merupakan salah satu bentuk yang termasuk cancel culture. Cancel culture paling marak terjadi di media sosial. 

Penggemar K-pop terkenal atas militansinya terhadap figur-figur yang mereka kagumi. Kegiatan penggemar, yang sebenarnya dilakukan secara sukarela, beriringan dengan beban dan keterikatan dalam komunitas penggemar K-pop. Mereka menghabiskan tenaga, emosi, waktu, dan uang untuk selebritas. Kegiatan penggemar tersebut yaitu antara lain streaming, membeli album, menonton konser, voting, hingga menjadi tameng bagi idolanya ketika diterpa rumor buruk. Tekanan sosial juga ada dalam komunitas mereka. Bagi penggemar yang enggan melakukan, mereka akan mendapat tekanan sosial dari sesama penggemar K-pop. Semua ini demi menaikkan popularitas sang idola. 

Agensi K-pop berperan besar dalam merancang, merencanakan, dan mengatur artisnya dalam hal produksi musik, pemasaran, hingga penampilan, tak terkecuali citra artis (Lindvall, 2013; dalam Sermchaiwong, 2021). Agensi K-pop sangat memperhatikan citra dan karakter seperti apa yang mereka bentuk pada tiap artis di naungannya. Mereka menampilkan kelebihan-kelebihan yang idola miliki: wajah yang rupawan, kemampuan bernyanyi sambil menari yang mumpuni, dan kepribadian yang menarik. Kelebihan-kelebihan tersebut cukup untuk mendefinisikan kepribadian idola K-pop di mata penggemarnya karena lebih sering ditampilkan daripada kekurangan mereka. Idola-idola K-pop tampil seolah-olah manusia sempurna di hadapan para penggemarnya. Mereka dituntut untuk berhati-hati dalam bersikap, bahkan terkadang interaksi mereka dengan idola K-pop dan selebritas lain dibatasi untuk menghindari rumor yang dapat merusak citra mereka.

Citra idola K-pop memiliki suatu nilai jual tersendiri bagi agensi yang menaungi mereka. Paduan dari citra dan popularitas idola tersebut mendatangkan permintaan supaya idola tersebut tampil dalam iklan dan acara televisi. Apabila citra tersebut rusak, maka agensi yang menaungi idola tersebut akan merugi. Lebih dari itu, tentu yang paling merugi adalah idola K-pop itu sendiri. 

Ketika sebuah kontroversi muncul, yang akan muncul pertama kali adalah kegaduhan, terlebih lagi di era serba digital seperti sekarang ini. Informasi akan cepat tersebar ke publik, baik kepada masyarakat yang memang peduli sedari awal ataupun masyarakat yang kebetulan mendapatkan kabar tersebut. Efek bandwagon membuat masyarakat yang tidak awam pun turut berpartisipasi dalam cancel culture (Ahuja dan Kerketta, 2021). Tidak jarang publik terlanjur memihak dan mengambil kesimpulan, bahkan sebelum kabar tersebut dikonfirmasi dan dibuktikan kebenarannya. Respon terparah yang didapat karena sebuah kesalahan bisa berupa ancaman mati (death threat).

Masyarakat pernah menyaksikan cancel culture yang dialami oleh grup K-pop wanita APRIL setelah adik dari Lee Hyun-joo, mantan anggota APRIL, menuliskan alasan kakaknya keluar dari grup tersebut di sebuah komunitas daring. Tulisan tersebut menyebutkan bahwa Lee Hyun-joo memutuskan untuk hengkang dari APRIL karena mengalami perundungan di dalam grup hingga mengalami gangguan panik dan pernah mencoba untuk bunuh diri (Do, 2021). Hal ini membuat Lee Na-eun, anggota APRIL yang paling populer, batal membintangi sebuah drama, penampilannya dipotong dari acara televisi, dan iklan yang dimodelinya dihentikan. Lee Na-eun yang sebelumnya dipandang sebagai seseorang yang anggun, kini dipandang sebagai seseorang yang ketus. 

Dampak serupa pernah dialami oleh Kim Seon-ho. Aktor ini sedang dalam puncak popularitasnya setelah dramanya naik daun pada akhir 2020 silam. Selain sebagai aktor, Kim Seon-ho juga merupakan anggota reguler dalam acara televisi “2 Days 1 Night”. Popularitasnya semakin meningkat karena muncul video-video yang menunjukkan kesopanannya terhadap orang-orang di sekitarnya. Namun, beredarnya sebuah skandal bahwa ia memaksa mantan pacarnya untuk menggugurkan kandungan, muncul pada pertengahan 2021 membuat penggemarnya menggaungkan kekecewaan mereka, proyek-proyek aktingnya batal dan ia dikeluarkan dari acara “2 Days 1 Night”. Citranya berubah dari seorang yang santun menjadi seorang yang kejam. Kasus ini berakhir dengan terkuaknya bukti bahwa mantan pacar Kim Seon-holah yang mengubah cerita sebenarnya. Karir Kim Seon-ho terselamatkan setelah kebenarannya terungkap. 

Dari kedua kasus tersebut, bisa dilihat bahwa pandangan penggemar dan masyarakat terhadap figur panutan dan idola mereka sangat dipengaruhi oleh berita yang mereka dapatkan. Apabila citra idola yang tampak dalam berita adalah citra yang baik, maka masyarakat akan memandangnya secara positif dan menaruh kepercayaan mereka pada idola tersebut. Apabila citra idola K-pop dikontrol oleh agensi mereka (Shin dan Kim, 2013), tentu masyarakat hanya bisa melihat sisi yang agensi ingin tunjukkan sesuai citra idola K-pop yang mereka bentuk. Padahal, citra idola yang terlalu positif juga bisa memperparah penolakan masyarakat setelah idola tersebut tersandung kontroversi (Lee et al., 2020).

Masyarakat hanya mengambil keputusan untuk meng-cancel figur-figur idola karena adanya celah dari citra yang melekat pada masing-masing idola. Penggemar sering merasa dekat dengan idola mereka karena banyaknya informasi positif tentang idola mereka yang bisa diketahui, namun sejatinya, penggemar tidak benar-benar mengenali idola mereka secara
pribadi.

Idola K-pop, sama seperti penggemar dan masyarakat, adalah manusia yang bisa berbuat kesalahan. Kita semua perlu kritis dan tidak memuja idola K-pop secara berlebihan. Dengan begitu, cancel culture akan menghukum pihak-pihak yang pantas mendapatkannya saja.

Referensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline