Sebagai kota yang memiliki sejarah masa lalu yang panjang, Yogyakarta memiliki segudang daya tarik wisata sejarah dan budaya. Salah satu saksi dari perkembangan Kota Yogyakarta dari masa lampau yang masih terjaga eksistensinya hingga saat ini sebagai warisan budaya adalah Kraton Yogyakarta. Sebagai warga Jogja sejak lahir, rasanya ada yang kurang kalau belum pernah berkunjung ke kerajaan Kota Yogyakarta. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini saya memutuskan untuk mengunjungi Kraton Yogyakarta untuk pertama kalinya. Pejalanan saya ke Kraton Yogyakarta terasa seperti langkah mundur ke masa lampau, sebuah kesempatan untuk merasakan denyut jantung tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dari kejauhan, kemegahan bangunan Keraton sudah terlihat dengan gerbang yang mengundang untuk masuk ke halaman penuh sejarah.
Pada kunjungan kali ini saya tidak sendiri, tetapi ditemani oleh kedua teman saya yang salah satunya sudah pernah berkunjung sehingga dapat menuntun kami agar tidak buta arah. Tepat setelah panggilan waktu untuk beribadah, kami menginjakkan kaki di halaman depan Kraton Yogyakarta. Memang salah kami karena memutuskan untuk datang di tengah hari dengan posisi matahari di atas kepala dan suhu udara tinggi sehingga membuat kami tak henti-hentinya mengibaskan sepucuk kertas yang barusan saya robek dari buku catatan. Padahal sebenarnya Kraton bisa dikunjungi mulai pukul 08.00, tetapi karena satu dan lain hal yaitu salah satu teman saya ketiduran, jadi yah begitulah.
Sesampainya didepan loket, kami menyerahkan uang untuk tiga tiket domestik kemudian melangkahkan kaki untuk masuk kedalam bangunan warisan budaya tersebut. Hal yang membuat saya kagum hingga tertarik untuk akhirnya mengunjungi Kraton Yogyakarta karena bangunan ini merupakan living monument yang telah melewati bertahun-tahun peradaban di Yogyakarta. Kraton menjadi saksi atas sejarah Kota Yogyakarta dari masa lampau yang masih dijaga keasliannya, bahkan masih dihuni oleh Sultan beserta keluarganya. Pada pintu masuk Kraton, terlihat beberapa abdi dalem dengan busana bercorak lurik dengan warna biru tua yang sedang menjalankan tugasnya.
Sesaat setelah memasuki pintu Kraton, terasa aura mewah dan megah tempat ini. Entah memang kebetulan.atau karena kami berkunjung pada hari Selasa, Kraton tidak terlalu ramai pada saat itu sehingga menambah kesan magis dan sakral. Kunjungan kami pada saat itu hanya mengandalkan internet untuk mengetahui nama-nama ataupun kegunaan dari tempat-tempat yang ada di dalam Kraton. Salah satu tempat yang cukup sering didengar oleh wisatawan kemungkinan adalah Bangsal Sri Manganti yang terletak di sebelah kanan tepat setelah pintu masuk. Bangsal tersebut menjadi lokasi bagi pagelaran seni untuk Pentas Paket Wisata Sri Manganti yang menghadirkan pentas seni yang berbeda-beda setiap harinya. Sesungguhnya pada hari itu sedang ada pementasan, namun kami datang di waktu setelah pementasan itu berakhir. Tetapi tidak apa-apa karena pementasan tersebut rutin diadakan sehingga saya memiliki alasan untuk berkunjung kembali ke Kraton Yogyakarta di lain waktu.
Begitu kami melanjutkan perjalanan menuju halaman keempat yang terletak dibagian tengah, kami disambut oleh bangunan-bangunan dengan arsitektur tradisional ciri khas Kraton Yogyakarta. Pendopo-pendopo ditopang oleh tiang-tiang kayu berukir dengan ciri khas warna hijau tua berhasil memikat hati. Suasana di dalam Kraton terasa sejuk dan teduh karena terdapat banyak pepohonan. Pepohonan ini ternyata memiliki filosofi yang dianggap sebagai perlambangan dari proses kehidupan dan penanda kediaman para bangsawan. Terlihat di sebelah kanan terdapat bangunan megah dan indah yang diberi pembatas merupakan tempat tinggal Sultan dan keluarga.
Kami sempat kebingungan kemana harus melanjutkan langkah karena kami tidak menggunakan tour guide dan tidak tertera alur pengunjung yang pasti. Jadi kami memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dan mulai berpose bersama bangunan Kraton Yogyakarta yang memiliki arsitektur unik. "Gini ya rasanya jadi putri Kraton", menjadi kalimat yang terucap ketika sedang asyik berfoto dengan pose anggun layaknya tuan putri. Setelah puas berfoto, kami lanjut menelusuri apa saja yang ada di Kraton Yogyakarta. Kami masuk ke salah satu ruanga yang ternyata adalah museum daur hidup. Museum ini berisi tentang pernak-pernik perkawinan putri sultan, seperti busana, sesajen, serta deretan adat yang harus dilakukan untuk perkawinan. Lagi-lagi pajangan di dalam museum berhasil membuat mulut kami terbuka pertanda kagum dengan kompleksitas pernak-pernik untuk serangkaian acara perkawinan dengan adat.
Seusai menjelajahi museum daur hidup, kami lanjut memasuki museum teh, disana terdapat pajangan perlengkapan minum teh, alat makan, penjelasan sejarah teh dan sebagainya. Sebagai orang yang gemar dengan estetika, ruangan ini cukup memanjakan mata dengan design cangkir dan piring yang terlihat mahal dan vintage. Penataan meja makan dan peralatan makan juga terlihat sangat mewah yang memancarkan aura bangsawan. Entah karena kami tidak terbiasa bergerak dalam waktu lama atau karena udara yang panas, kami mulai merasa lelah dan mencoba untuk berhenti sejenak sebelum melanjutkan eksplorasi kami.
Sejujurnya kami tidak tahu pasti apakah kami sudah menjelajahi semua bagian Kraton Yogyakarta atau belum. Saat kami melanjutkan perjalanan ke bagian pintu belakang, terlihat ada seorang bapak tua yang sepertinya adalah salah satu penjaga disana. Bapak itu kemudian menjadi target kami untuk menanyakan bagian Kraton mana lagi yang belum kami kunjungi. Kemudian beliau memberi informasi bahwa sekitar 100 meter dari tempat kami berdiri terdapat toko souvenir karya seniman lokal yang bisa kami kunjungi untuk sekedar memanjakan mata atau membungkus buah tangan. Tanpa basa basi, kami mengucappkan terima kasih atas informasinya dan bergegas menuju lokasi yang dimaksud.
Tidak butuh waktu lama untuk menemukan lokasi tersebut, kami langsung memasuki galeri yang menjual lukisan. Lukisan disana terbilang cukup unik karena tinta yang digunakan dapat menembus kanvas hingga bagian belakang, sehingga lukisannya dapat dilihat dari kedua sisi. Cukup lama kami melihat satu persatu lukisan yang dipajang sembari sesekali menanyakan arti dari lukisan yang menarik perhatian. Setelah puas memanjakan mata, kami pamit untuk pergi dan kembali ke Kraton untuk pulang. Tak terasa waktu hampir menunjukkan pukul 2 siang yang mana merupakan waktu tutupnya akses Kraton. Sungguh waktu yang tepat saat kami telah usai menjelajahi Kration Yogyakarta. Kunjungan hari itu membuat saya semakin kagum dan bangga dengan kebudayaan Jawa khususnya Yogyakarta. Memang, sesuai dengan namanya, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H