'Tabu' dan Mulok Bahasa Daerah Jadi Penghalang Masuknya Pendidikan Seksual Hari Ini?
Hari ini, saya disadarkan oleh kemalangan dunia pendidikan yang menimpa adik keponakan saya. Bukan hanya kebingungan mencari jawaban atas soal-soal bahasa Sunda yang harus ia kerjakan sebagai tugas dari mata pelajaran muatan lokal (mulok), ia juga kebingungan, kenapa harus menerima muatan lokal ini?
Padahal dia berasal dari Jakarta yang pindah ke Bogor untuk sementara waktu dan merasa tidak harus menguasai bahasa Sunda untuk bisa dikatakan sebagai murid pintar, yang saat ini didefinisikan dengan coretan angka 90 ke atas. Ya, minimal 80, lah.
Seberapa penting muatan lokal bagi pendidikan saat ini? Apakah berbahasa dengan bahasa daerah menjadi hal yang lebih krusial dari pada krisis pendidikan seksual hari ini? Apakah mampu menjawab soal-soal dengan bahasa daerah mengalihkan fokus pemerintah dari tingginya angka pelecehan seksual yang dialami oleh anak dan remaja?
Jika memang begitu, ya, saya tidak kaget kalau masih ada orang di luar sana yang beropini bahwa berenang satu kolam dengan pria, bisa menyebabkan wanita hamil, guru SMP saya pernah mengatakan ini dengan lantang di depan kelas.
Mendiskreditkan bahasa daerah dalam muatan lokal bukan menjadi tujuan tulisan ini, dan bukan menjadi tujuan utama pula untuk menyadarkan pemerintah bahwa muatan lokal tidak menjadi mata pelajaran yang efektif sesuai tujuan awal pembentukannya. Saya yakin, pemerintah tahu dan paham akan hal ini.
Mari berbaik sangka, mungkin pemerintah sedang menyiapkan terobosan terbaru dalam dunia pendidikan.
Berusaha menghilangkan opini 'tabu' dalam pendidikan seksual memang menjadi tantangan besar hingga sekarang, tapi tulisan ini terlanjur dibuat dengan tujuan menyadarkan kita bahwa konsep 'tabu' itu tidak ada sembari berharap kita juga berhenti melanggengkannya.
'Tabu' menjadi beton penghalang bagi masuknya pendidikan seksual dalam deretan mata pelajaran pendidikan di Indonesia, syukur-syukur bisa menjadi muatan lokal sebagai pengganti bahasa daerah yang sudah tidak relevan.
Ya, tidak relevan karena adik keponakan saya bisa menyelesaikan soal-soal di buku latihannya melalui Google Translate dan tidak mendapat koreksi sama sekali dari sang guru.
Entah kenapa, Kemendikbud di bawah pemerintah masih ngeyel mengadakan mulok dalam kurikulum pendidikan, kalau pun masih tetap menginginkan keberadaan mulok, seharusnya di tunjang oleh tenaga didik yang sesuai, bukan guru seni budaya yang tiba-tiba jadi guru mulok.