Setelah melewati akhir pekan dengan kuper - ngedate dengan hp dan internet yang selalu setia menemani #cieeh - saya pun bertekad tidak akan menghabiskan waktu saya dengan sia-sia kembali, seperti mengintai (bahasa kerennya nih, stalking) status facebook orang dan menengok hp saya setiap 5-10 menit sekali.
Dewasa ini, sering rasanya melihat artikel-artikel mengenai tren yang cukup baru ini. Mulai dari komunitas psikolog yang mengkhawatirkan timbulnya gejala autisme dan penurunan interaksi sosial yang nyata. Juga tidak bisa dibantah bahwa beberapa orang-orang yang paling terkenal dan terkaya di dunia kini tidak dapat dipisahkan dari tren penggunaan media sosial, seperti Facebook, Google, Apple, dan juga Samsung. Entah apa ujungnya dari perdebatan pro dan kontra yang masih terus berlangsung, ikhtisarnya sudah jelas: kehadiran medsos sudah mendarah-daging dan dapat disetarakan sebagai pengganti interaksi sosial riil untuk berbagai kepentingnya, khususnya bagi kalangan kawula muda.
Sudah banyak tulisan yang dibuat mengenai hal ini, dan walaupun saya mungkin hanya menambahkan satu lagi ke dalam setumpuk yang sudah ada, saya merasa terdorong untuk angkat bicara. Berasal dari background anak yang senang bergaul, orang-orang terdekat saya pun heran saat melihat keengganan saya untuk terlalu bersentuhan dengan yang namanya medsos. Pembelaan saya, saya telah melihat bagaimana teman-teman di sekitar saya tidak bisa makan tanpa menyentuh gadget dan membuka akun Instagram. Adik saya di masa-masa perkembangannya - yang seharusnya membuatnya berhasrat untuk keluar rumah dan mencari pergaulan - memilih untuk berdiam di dalam kamar berhari-hari bersama dengan gadget tersayang, hanya keluar untuk makan dan minum.
Bukannya saya mengritik kebiasaan orang-orang tersebut, karena setiap orang punya pilihan dan kesenangannya sendiri, kan? Tetapi jiwa saya berteriak dan memberontak, bertekad untuk tidak berakhir sebagai seorang medsos addict. Setidaknya, menjadi seorang blogger adalah sesuatu yang produktif. Begitulah pikiran saya.
Sayangnya, dalam proses "isolasi dari dunia medsos" inisiasi saya sendiri tersebut, perlahan-lahan saya merasa teralienisasi dari dunia pergaulan. Setidaknya, ada cap "jaim" dan "sok sibuk" yang melekat saat saya hanya membuka Blackberry secukupnya dan tidak berbasa-basi dalam forum-forum chatting. Disitulah saya menyadari bahwa sikap anti-mainstream ini tidak ada faedahnya.
Mengapa judulnya "Terperbudak..." bukannya "Diperbudak"? Karena memang dengan tanpa sengaja seseorang dapat jatuh dalam perangkap ini. Medsos seakan-akan seperti obat yang sangat adiktif, antara jatuh sepenuhnya atau menjauhkan diri sama sekali. Dua-duanya adalah opsi yang sama-sama tidak menyenangkan.
Lalu, apakah solusinya? Sebenarnya gampang, keseimbangan. But it's easier said than done...
Bisakah kita melawan hasrat untuk menengok gadget setiap 5-10 menit sekali? Bisakah kita tidak bersembunyi dibalik gadget masing-masing saat berinteraksi dengan orang yang belum akrab? Saya rasa, medsos adalah pedang bermata dua. Di sisi satu ia dapat meningkatkan konektivitas, namun di sisi lain dapat mengendalikan penggunanya dan menghabiskan waktu produktif.
Jadi, berhati-hatilah dalam memanfaatkan tren ini. Tidak usah diperdebatkan pro dan kontra-nya, atau dianalisis secara psikologis. Semua itu memusingkan! Yang diperlukan hanya pengendalian diri. Jangan sampai kita menjadi generasi yang seperti banyak perkataan, semakin bodoh walaupun smartphones-nya semakin pintar. Mengutip perkataan dari teman saya yang berada di Canada, "Sepertinya hanya di Indonesia saja budayanya mengeluarkan hp pada saat di tempat umum. Di sini, itu 'ga sopan!"
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H