Sudah setahun lebih pandemi Covid 19 tinggal di Indonesia, terhitung sejak Maret 2020 yang lalu. Tahun lalu, lebih 'mencekam', pasalnya orang masih takut terhadap keganasan Covid yang mudah saja merenggut nyawa manusia yang dijangkitnya. Maka, segala sesuatu dilakukan dengan hati-hati dan cermat, agar tubuh steril dari virus ganas itu.
Pandemi juga memaksa segala kegiatan masyarakat Indonesia untuk jeda dan bahkan berhenti. Banyak usaha yang tutup. Banyak pekerja yang di PHK. Sumber perekonomian macet dan mandek. Banyak yang stres dan putus asa, bingung mau makan apa dan mencarinya dari mana. Semua dilakukan serba di rumah (#stayathome).
Tidak hanya itu, pandemi juga cukup kuat memberikan ujian pada aktivitas keagamaan. Ibadat (h) secara kolektif di rumah ibadah masing-masing harus dihentikan sementara waktu. Cukup ibadat (h) di rumah saja. Kalau ada pemimpin ibadah yang menyajikan ibadat (h) online, yah itu saja diikuti. Tak perlu keluar rumah dan berkumpul dengan orang lain.
Waktu itu, masa puasa umat Katolik (26 Februari - 11 April 2020) kena dampak pandemi. Padahal, tinggal beberapa hari lagi perayaan Paskah digelar. Tapi, mau buat apa, ketaatan terhadap protokol kesehatan jauh lebih utama demi kebersamaann. Itu jauh lebih bijak daripada memaksakan diri untuk merayakan Paskah secara meriah dan komunal, sementara Covid mengintai di sana-sini.
Masa puasa umat Islam tahun lalu (24 April - 23 Mei 2020) pun kena dampak pandemi. Peribadatan dilangsungkan secara sederhana, just at home. Tidak ada peribadatan di masjid secara kolektif. Puasa dan buka bersama (bukber) dilakukan di keluarga dengan lebih dekat. Perayaan lebaran pun dilakukan dengan konteks pandemi, displin prokes. Tidak ada mobilitas ke tempat wisata dan mudik ke kampung halaman.
Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah memberikan pengaruh yang cukup kuat. Di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, bahkan keagamaan, efek itu terasa. Di bidang kesehatan sudah jelas, orang semakin diminta untuk hati-hati dan peduli kesehatan. Untuk itu, perlu konsumsi vitamin dan antibodi. Di bidang ekonomi, apalagi, keuangan serasa tak mengalir.
Di bidang sosial, juga. Orang sudah sangat parno untuk dekat dengan orang lain, terutama jika orang itu tidak pakai masker, batuk-batuk, atau deman. Orang ini cenderung akan dijauhi, walau belum tentu ia positif Covid.
Di bidang keagamaan, rasanya boleh dikatakan bahwa iman serasa dicobai. Jutaan doa diuntai kepada Allah yang Mahakuasa, berharap pandemi Covid-19 cepat berlalu. Jutaan lagu-lagu sembah bakti didendangan berharap Allah mengabulkan permintaan umat manusia. Nyatanya, pandemi belum berlalu. Bahkan, muncul ungkapan-ungkapan pesimis terhadap kemahakuasaan Allah. Semua seperti sia-sia.
***
Di tengah kemelut dunia ini, cobaan yang datang dalam bentuk pandemi, ada yang dapat dipelajari dari ramadhan tahun lalu. Pertama, sesulit apa pun situasi tahun lalu, umat Islam tetap setia dan semangat menunaikan ibadah puasanya. Walau tak dapat kesana-kemari, apalagi saat lebaran, umat Islam Indonesia tetap menikmati masa-masa penuh rahmat itu dengan suka cita. Meski, itu semua dalam situasi sederhana.
Kedua, ibadah tetap berlangsung. Meski tidak secara kolektif, toh ibadah masih dapat dilakukan di rumah bersama anak atau isteri atau suami. Nilai ibadah tidak berkurang.