Bagi Tuhan, laki-laki dan perempuan itu sama dan sederajat. Sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya(Kejadian 1:26-27). Sama-sama diberikan hak istimewa untuk mengaktualisasikan kapasitas, ide, perasaan, dan kehendak demi kebaikan bersama terlebih demi memuliakan Sang Pencipta yang sama.
Akan tetapi, cukup lama paham bahwa laki-laki dan perempuan sama dan sederajat tenggelam atau bahkan dibantah. Laki-laki menjadi dominan dan punya derajat tinggi. Sementara, perempuan dipandang sebagai pihak nomor sekian dan lebih rendah daripada kaum adam. Maka, konsekuensi logisnya, laki-laki menjadi nomor satu dan selalu didahulukan. Sementara kaum hawa harus 'sadar diri dahulu'.
Paham dan prinsip seperti ini sungguh amat kental dihidupi oleh mereka yang menganut aliran patrilineal, dimana laki-laki dipandang sebagai pihak penting (terutama dalam menentukan garis keturunan). Laki-laki juga yang berhak mendapatkan harta warisan dari orang tua. Laki-laki jugalah yang mengatur segala hal ikhwal baik dalam rumah tangga, sosial, atau pun adat-istiadat. Kaum perempuan? Nanti dulu!
Untungnya, aufklarung (pencerahan) pun terjadi. Perlahan, pola pikir sempit bahwa laki-laki adalah segalanya berubah. Semakin disadari bahwa, perempuan punya harkat martabat yang setara dengan kaum adam. Perempuan juga bisa! Maka, muncullah gerakan emansipasi wanita yang menyuarakan bahwa kaum perempuan "Bisa menjadi ini, bisa menjadi itu, bisa buat ini dan bisa buat itu".
***
Di dalam budaya Batak (Toba) pun pembaruan tersebut sungguh (sudah) terasa. Emansipasi wanita menjadi gerbang tol bagi kaum hawa untuk mendapat perhatian dan dipertimbangkan dalam kelompok sosial orang Toba.
Perempuan yang dulunya hanya bekerja di dapur, kini sudah bisa bekerja di tempat bergengsi (kursi pemerintahan, ketua organisasi, dan sebagainya). Perempuan yang dulunya tidak dapat mengecap pendidikan, kini sudah bisa sekolah sejauh-jauhnya dan setinggi-tingginya (boarding school, dosen, guru, manager, dan sebagainya). Perempuan yang dulunya tidak bisa dapat warisan, kini sudah punya bagian tersendiri dari orang tua.
Perempuan yang dulunya tidak boleh menjadi panggoaran (yang memberikan nama/gelar bagi orang tua, misalnya Ama ni ...., Ina ni .... (Bapaknya si ...., Ibunya si ....) atau Ompung ni si .... (kalau dari cucu); dan mengangkat nama baik orang tua), kini telah diterima secara umum untuk menjadi boru panggoaran (puteri sulung yang memberikan gelar bagi orang tuanya).
***
Terkait dengan keterangan di atas, ada satu lagu Toba yang bisa dijadikan referensi. Judulnya Boru Panggoaran. Lagu ini diciptakan oleh Tagor Tampubolon dan dipopularkan oleh Viktor Hutabarat yang dirilis pada 2016 yang lalu. Juga, sudah cukup banyak penyanyi profesional Batak yang meng-cover lagu ini agar lebih menarik dan syahdu. Silakan search di youtube.
Kira-kira, lirik asli dan terjemahan lagunya demikian: