Jumat, 19 Maret 2021
Pukul 12.20 WIB, HP saya berdering. Pastor satu komunitas menelepon minta pulang segera. Awalnya saya cemas. Pasalnya, belum selesai jam kerja, saya diminta pulang. Namun, segera pastor tersebut menerangkan bahwa, sedang berlangsung vaksinasi di susteran (tempat tinggal para suster - biarawati - Katolik) yang berseberangan dengan rumah kami.
Saya langsung beres-beres dan meluncur ke tempat yang dimaksud. Saya senang, bahwa telah tiba giliran untuk vaksinasi. Ini yang saya tunggu-tunggu. Memang, di perjalanan, saya coba menenangkan diri. Saya merasa jantung saya berdetak dengan kencang. Tapi, saya coba untuk relaks dan santai. Saya takut kalau karena tekanan darah yang naik akibat situasi ini, peluang emas menerima vaksin ditunda. Menurut penuturan para pastor yang sudah lebih dahulu divaksin, tensi juga mempengaruhi apakah seseorang bisa langsung disuntik atau ditunda hingga tensinya stabil. Untuk itu, saya coba tenang.
Ketika tiba di tempat
Jarak kantor dengan komunitas tidak jauh, kurang lebih 7 menit naik sepeda motor kalau tidak macet dan lampu merah. Kebetulan, tadi tidak ada macet dan lampu pas saya mau lewat lampu hijau yang nyala, maka saya bisa tiba lebih cepat. Sampai di susteran, saya cuci tangan dan diantar menuju aula besar untuk disuntik vaksin.
Petugas minta fotokopi KTP dan saya beri. Kebetulan, saya sudah mempersiapkannya. Lalu, saya duduk dahulu di kursi antrian, karena masih ada beberapa suster yang masih ditanyai oleh dokter dan tenaga kesehatan. Ada juga yang sedang divaksin di ruang vaksinasi.
Saya masih merasa jantung saya belum stabil, masih berdetak tak karuan. Maka, saya coba keluar aula dan menenangkan diri. Sekitar sepuluh menit kemudian, nama saya dipanggil. Lalu, seorang petugas nakes mengukur tensi. Untunglah, tensi saya sudah kembali normal.
Kemudian, dokter menanyai saya beberapa pertanyaan. Selama ditanyai oleh dokter, saya tidak merasa grogi sama sekali, sebab dokternya kocak. Saya jadi relaks dan merasa plong. Akhirnya, semua beres dan saya diarahkan menuju ruang vaksinasi.
Di ruang vaksinasi
Ketika tiba di ruang vaksinasi, saya diminta tenang dan relaks. Tim kesehatan juga mencoba membuat suasana menjadi tenang dan hidup. Sambil bercerita, petugas menyuntik vaksin itu ke tubuh saya. Lucunya, saya seperti tidak merasa apa-apa. Saya tak merasa bahwa jarum suntik itu menembus kulit saya. Saya juga tidak merasa bahwa vaksin itu telah bercampur dengan darah saya. Tidak sakit sama sekali. Bahkan saya bertanya, "Sudah selesai, suster?". Si suster menjawab, "Sudah, Pak!"
Wah, dalam hati, saya berkata, "Kok, tidak terasa yah? Lebih sakit digigit semut api, nih!" Lalu, saya diminta duduk kembali di kursi antrian selama 30 menit, melihat reaksi apa yang terjadi. Sembari menunggu, saya baca-baca berita di HP. Selama 30 menit ini tidak ada reaksi apa pun yang saya rasakan. Palingan, saya merasa lapar. (He he he). Maklumlah sudah jam makan siang.
Kemudian, saya diberi kartu untuk jadwal vaksinasi kedua di April mendatang. Setelahnya saya pulang dengan biasa, tanpa merasa sakit atau pusing atau mual. Oh, ya dokter tadi berpesan agar saya tetap displin dalam mematuhi prokes, walau sudah disuntik vaksin Covid 19.
Jangan takut
Maka, para Sobat yang baik. Suntik vaksin itu, ngak sakit kok! Saya sendiri sudah mengalaminya. Seperti saya alami, bahwa lebih sakit digigit semut api. Jangan takut! Kita mau sehat dan kita mau imun tubuh kita kuat. Kita mau Indonesia bebas dari Covid-19.