Penulis : Antonius Kasarua Lewowerang
Kompasian.com Selain merebaknya Covid 19 negara Indonesia juga dikejutkan dengan sebuah issue tentang Eco-Anxiety. Eco-Anxiety merupakan suatu ganguan yang dialami oleh seseorang baik ganguan mental maupun psikis akibat trauma karena dampak dari perubahan iklim yang tidak menentu yang pernah terjadi di tempat tinggal atau lingkungan sekitarnya. Menurut American Psychiatric Association (APA) Eco-Anxiety digambarkan sebagai ketakutan kronis (jangka panjang) akan datangnya malapetaka lingkungan. Gangguan ini tidak terdapat dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM) yang artinya dokter tidak menganggapnya sebagai suatu kondisi medis yang dapat didiagnosis.
Issue hadirnya Eco-Anxiety berasal dari berbagai sumber yang kredible salah satunya yakni dari BMKG yang merupakan badan utama dalam hal penanganan untuk mengetahui proses perubahan iklim. Sebagai akibat dari munculnya Eco-Anxiety yang mana menuai persepsi pro dan kontra dikalangan masyarakat Indonesia ada yang mengatakan Eco-Anxiety terjadi karena faktor alam itu sendiri. Akan tetapi sebagian besar masyarakat mengatakan bawha munculnya Eco-Anxiety disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri seperti polusi udara dari transportasi maupun perusahan industri besar yang menyebabkan lapisan ozon menipis dan juga menyebabkan mencairnya es di kutub sehingga air laut semakin hari semakin meningkat. Eco-Anxiety juga terjadi karena produksi sampah makanan yang memberikan resiko penambhan emisi gas rumah kaca maupun efek langsung dari kerusakan lingkungan sekitar dan menyebabkan sulitnya mencari sumber makanan dan akan sangat berpengaruh pada gangguan mental akut seseorang.
Dikutip dari helo sehat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada sebuah survei Nasioanal tentang kecemasan dan emosi iklim di Finlandia pada 2019, terungkap bawha 25% mengenali beberapa bentuk kecemasan iklim dalam diri mereka. Sementara pada survei desember 2019 di AS, sebanyak 68% responden mengatakan bawha mereka merasakan setidaknya tentang kecemasan lingkungan. Kecemasan dalam survei tersebut di definisikan sebagai kecemasan iklim dan sekitarnya 25% populasinya merasakan sebagian besar kecemasan itu. Sedangkan menurut American Psychiatric Association (APA) perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang berupa rasa cemas, trauma dan syok, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD), penyalagunaan obat-obatan, berkurangnya kontrol terhadap diri sendiri, kesulitan tidur, mudah marah dan rasa takut. Apabila ganguaun ini tidak terdiagnosis maka akan menimbulkan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.
Oleh karena itu sebagai warga masyarakat yang peduli akan lingkungan wajib mengambil langka preventif berupa melakukan reboisasi terhadap keselamatan lingkungan yang telah dirusaki seperti yang dilakuakan oleh masyarakat amerika dengan mewajibkan setiap warganya untuk menanam satu buah pohon, mengedukasikan masyarakat dengan informasi yang akurat tentang pentingnya keselamatan lingkungan, melakukan olaraga untuk mengatasi perasaan stres dan gangguan lain yang di alami serta segera berkonsultasi dengan dokter atau psikolog apabila mengalami gangguan fisik. Dan pada intinya tetap mengedukasi setiap warga masyarkat untuk selalu menjaga dan mencintai keselamatan lingkungan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI