Lihat ke Halaman Asli

Binus Adakan Konferensi Internasional Dalam Upaya Kesiapan Indonesia Hadapi Persaingan Global

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409650302682752042

1409650914689366327

Pada 1 September 2014, Bina Nusantara (Binus) University menyelenggarakan seminar internasional dengan tema “ASEAN 2015: Challenges and Opportunities from Multidisciplinary Perspective”. Pada kesempatan itu Binus berhasil menghadirkan perwakilan Sekjen ASEAN Rahmat Pramono, Direktur Urusan Luar Negeri Prof. Tai Wan-Ping (Universitas Cheng Shiu Taiwan), DR. Rudolf W. Matindas (Universitas Indonesia), DR. Christine Manara Ph.D (Universitas Payap Chiang Mai Thailand) dengan moderator Ketua Jurusan Hubungan Internasional Bina Nusantara University, DR. Tirta N. Mursitama. Dilanjutkan pada sesi kedua, diskusi dengan beberapa panelis yaitu Tia Mariatul Kibtiah (Binus), Geradi Yudhistira (Binus), Galuh Dian Prama Dewi (Binus), Adit Permana (Binus), Angel Damayanti (Universitas Kristen Indonesia), Lailufar Yasmin (Universitas Dhaka Bangladesh), Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Binus Mutti Anggita, Curie Maharani (Universitas Binus), dan Badrus Sholeh (Deakin University, Australia).

Tia Mariatul Kibtiah, pembicara pertama menjelaskan mengenai faktor-faktor negatif yang menyebabkan Saudi Arabia enggan menginvestasikan uangnya di Indonesia di bidang minyak. Hanya sedikit saja uang Saudi singgah di Indonesia berupa kerjasama perdagangan. Saudi lebih memilih berinvestasi di Amerika, Inggris, Yunani, Belanda. Untuk wilayah Asia, Saudi memilih berinvestasi di Jepang, Cina, India, Singapura, Korea Selatan, Philipina dan Malaysia. Menurut Tia, ada beberapa faktor negatif yang membuat Saudi memilih negara lain daripada Indonesia. Pertama, karena buruknya birokrasi Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia belum sepenuhnya memiliki sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Masih banyak pungli (pungutan liar) dan suap di kalangan dunia usaha sehingga hal ini memberatkan para investor. Kedua, marketing yaitu Indonesia tidak bisa mempromosikan keadaan iklim investasi yang kondusif di Indonesia di hadapan bangsa lain termasuk di depan pemerintah dan investor Saudi Arabia. Hal ini diakui Anggota Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi bahwa presentasi BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) di depan para investor Saudi Arabia masih memiliki kemampuan rendah. Ketiga, tentang infrastruktur. Hingga kini infrastruktur di Indonesia untuk menarik investor masih belum membaik. Misalnya di daerah, masih belum tersedia jalan yang mulus menuju area kelapa sawit yang diminati investor Saudi. Selain itu, belum tersedianya hotel bintang lima yang biasa dikunjungi pejabat Saudi Arabia. Keempat, Indonesia juga dihadapkan pada persoalan persaingan bisnis dengan Malaysia. Malaysia mampu melayani investor Saudi dengan baik. Mereka bahkan mengantar para investor dengan helikopter untuk melihat area kebun kelapa sawit. Malaysia juga meiliki skill negosiasi yang baik dengan para investor Saudi dan berhasil meyakinkan mereka agar berinvestasi di negaranya ketimbang di Indonesia. Tentu saja ini jadi “PR” bersama bangsa Indonesia untuk membantah segala tuduhan Malaysia. Kelima, Tia mengatakan, Saudi Arabia memiliki budaya yang tidak dipahami oleh masyarakat Indonesia. Misalnya bagaimana kita harus menghormati mereka ketika melakukan perjanjian bisnis dengan cara berdiri saat menyambut mereka, jangan duduk sebelum mereka duduk, cium pipi kiri kanan disertai dengan senyum. Hal ini seperti tradisi sepele. Namun sangat penting dipahami pemerintah dan pengusaha Indonesia jika ingin menjalin kerjasama bisnis dengan pihak Saudi.

14096505681922152315

Senada dengan Tia, Geradi Yudistira mengungkapkan rasa kecewanya atas pesatnya Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia. Padahal pada era orde baru, Petronas banyak belajar dari Pertamina, perusahaan minyak milik Indonesia. Hal ini disebabkan Pertamina menjadi “sapi perah” partai politik. Budaya korupsi di Indonesia sampai saat ini belum juga berhasil diberantas meski Indonesia sudah memiliki lembaga pemberantasan korupsi (KPK). Menurut Gera, Direktur Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, Pertamina sebaiknya menjadi perusahaan swasta daripada menjadi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang hanya menjadi santapan partai politik untuk memertahankan kekuasaan. Galuh Dian memberikan presentasi mengenai CSR (Corporate Social Responcibility) yang juga merupakan komponen penting untuk para investor ketika menanamkan sahamnya di Indonesia. Sejauh ini, pemerintah Indonesia kerap bersikap “lembek” terhadap pengusaha nakal yang tidak memerhatikan lingkungan di sekitar tempat mereka berinvestasi. Contohnya, perusahaan milik Amerika PT Freefort Indonesia yang tidak memerhatikan kesejahteraan masyarakat Papua. Mereka hanya mengeruk keuntungan dari sumber daya alam Indonesia. Sementara Aditya Permana membahas mengenai MAC (Middle-Class and Affluent Consumers). AFTA dibentuk karena meningkatnya kelas menengah di ASEAN. Problem besar adalah kelas menengah yang tumbuh semakin besar diatas 50% dalam waktu singkat. Kelas menengah telah siap menyambut AFTA secara moral. Namun masalahnya, pelaku korupsi datang bukan dari masyarakat kecil atau kelas atas tapi dari kelas menengah.

Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Mutti Anggita membahas mengenai NPT (Non Proliferation Treaty) dari sudut kelemahan dan langka-langkah untuk mengatasinya. Ada beberapa negara yang secara sah memroduksi nuklir seperti Rusia, Amerika Serikat, Prancis, China dan Inggris. Namun ada juga negara yang sembunyi-sembunyi memroduksi nuklir dan tidak mau menandatangani perjanjian NPT yaitu India, Israel dan Pakistan. Sementara Iran sampai saat masih dalam perdebatan sengit diantara negara-negara yang memiliki hak veto. Ada yang pro mengizinkan Iran memroduksi nuklir dan ada yang menentang Iran melanjutkan produksi nuklirnya, meski Iran sendiri sudah membantah bahwa nuklir Iran bukan untuk senjata melainkan untuk sumber energi bagi kebutuhan masyarakat Iran. Ada kelemahan pada perjanjian NPT itu sendiri. Misalnya, hanya bicara mengenai pentingnya menghentikan persaingan senjata nuklir tapi tidak membahas untuk menghancurkan nuklir yang jelas membahayakan dunia. Dalam teks tersebut tidak ada pernyataan secara jelas bahwa penghancuran senjata nuklir itu adalah sebuah kewajiban bukan sekadar opsi. Pembicara berikutnya adalah Curie Maharani yang membahas mengenai Modernisasi kapal perang Indonesia. Saat ini Indonesia kalah dengan negara-negara ASEAN yang memiliki kapal perang canggih. Indonesia sudah saatnya memperbarui kapal perang yang ada saat ini untuk memertahankan negara dari ancaman luar. Misalnya, banyaknya perampokan atas kekayaan laut Indonesia. Panelis terakhir yaitu Badrus Sholeh (Deakin University Australia), membahas mengenai transisi demokrasi dan transformasi kombatan dan veteran Aceh dan Timor Leste. Kekerasan masih terjadi pasca kemerdekaan Timor Leste dan reintegrasi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan NKRI. Ini adalah tantangan bagaimana masyarakat pasca konflik dan pasca perang masih dihantui dengan masalah kemiskinan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. (TIA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline