Malam Senen, belum begitu malam sebenarnya, jam dinding yang aku belikan di pasar malam itu menunjukan jam 22.28. terdengar ada suara ketukan di jendela yang kacanya sudah retak, tak ada siapa-siapa daun jendela tiba-tiba terbuka, di belakangnya sosok buruk rupa dengan suara serak dan bernada resah menyapa, lalu dia menyebutkan namaku, Denawa..!
Kuberanikan diri buka pintu kayu jendela, lalu sosok buruk rupa menghilang dan hanya meninggalkan bayang-bayang hitam, dan sayup-sayup terdengar nama, Dewa...! Ada arak-arakan pelan di beranda nyalangku, kutatap, lalu senyap ada barisan nisan pusara jiwa di luar jendela. Komat-kamit mulutku dan kusapa embun pada kelopak mawar dengan senyuman, tetapi embun begitu culas padaku seakan mau memberiku badai bak akan mengguncangkan jiwa.
“Denawa” suara itu lantang datang dari pintu rumahku disertai dengan ketukan beberapa kali, suara perempuan yang selalu hadir dalam thalamus, ruang otak tempat sensor data dan sinyal-sinyal motorik, itu suara Dewa. Dia, perempuan yang aku kenal beberapa tahun lalu, aku ingat betul ketika dia dengan teman-temannya menyiapkan keranda jenasah untuk aksi, aksi pembelaan pedagang kecil yang akan digusur ruang hidupnya. Setelah itu lama Dewa menghilang, tentu aku mulai melupakan Dewa. Setelah itu aku tahu, Dewa menghilang karena kecelakaan, setenggah tulang yag ada di badannya remuk.
Pagi itu, dengan di boncengi ibunya, Dewa muncul dikantorku. Tidak ada yang berubah, dia berdiri tegak tetapi di tompang dua tongkat ditubuhnya, matanya tetap tajam, cantik dan aku tahu dia semakin pintar saja. Mata kami saling berpandangan. Lalu, kami bercerita banyak tentang beberapa rencana aktivitas sosial yang menjadi ambisinya, setelah itu dia selalu datang dan tak kami sia-siakan waktu bersama. Kami banyak cerita, cerita tentang perempuan, tentang desa, tentang batu, tentang novel 1001, tetapi ada getar ketika mata kami bertatapan.
***
Malam ini dia datang menemuiku, buru-buru aku buka pintu. Dewa, dengan dua tongkat penumpuh badannya, Dewa tegak di depan pintu, matanya merah seperti habis menangis. Seperti kebiasaanku, aku usap kepala dan rambutnya, lalu aku papah dia masuk dan kami duduk di kursi reot bersandar pada sebuah bantalan berwarna merah di ruang tamu rumahku. Hubungan di antara kami terjalin seperti kisah yang diceritakan tanpa naskah, hanya menjalani rasa, menuruti kata hati dan naluri, tanpa terikat janji. Kami sedang mengalami dialektis emosi dalam berhubungan, saling mempengaruhi menuju kedewasaan yang berujung pada keutuhan keperibadian, Dewa bilang itu proses bercinta kami.
“Untuk menghindari mu, ternyata sembunyi saja tidak cukup letih jika terus berkejar-kejaran seperti ini” katanya dan laluku peluk dia dalam-dalam.
“Itu karena kita menyamarkan luka masing-masing lalu saling menutupi kesedihan, menutupi realitas dan mimpi dengan beberapa puisi yang tak pernah dibukukan, sebab yang kita yakini, puisi itu takkan pernah mati dan selalu menjadi spasi dalam iringan setiap kata-kata” Jawabku dan hatikupun bergetar. Kita, lanjutku. Harus menentukan alternatif yang harus diambil, regresi atau progresi, untuk kembali ke eksistensi pola bercinta. Ini kebiasaanku berteori ketika berbicara dan berdiskusi dengan Dewa. “Ketika kita kembali ketitik awal sudah pasti mengelami penderitaan, dan kalau di lanjutkan pasti menakutkan sekaligus menyakitkan. Ketakutan dan keragu-raguan bukanlah pilihan bijak pada posisi ini” terangku.
“Aku” jawab Dewa, dan dia semakin tengelam dalam pelukkanku. Aku cuma butuh cinta, cinta yang berwujud penyatuan disaat aku sedang mempertahankan keterpisahan dan intergritas diri yang memungkinkan perwujudan dari aktifitas batin secara penuh. Karena ketika adanya kamu, realitas cinta membuat eksistensi individuku meningkat, dan aku meraskan pengalaman mistis dari gairah penyatuan kita, lanjut Dewa, nada suaranya gemetar.
“Cinta antara kita harus mulai dari titik orientasi produktif” jawabku dan ku cium kening Dewa, ciuman buat menenangkannya. Orientasi produktif ini harus bersentuhan dengan realitas penalaran, itu akan membuat kita lebih kuat dan bahagia. Maka konsef penghargaan, keberanian, kesetian dan nilai-nilai estetis haruslah menjadi bagian simbolik dari cinta kita. Lanjutku.
“Aku tahu, tapi pada titik ekstrim, bukankah cinta itu pembebasan dari dorongan insting murni? lalu dia bisa menjadi bentuk sublimasi dan di sisi lain kepemilikan yang dilakukan oleh dorongan dan mengarah pada pengrusakan diri?” jawab Dewa.
“Pengrusakan diri?” tanyaku. Begini, akupun berdialektika secara sederhana, cinta itu hidup, dia tidak semata-mata tentang inti, melainkan soal arus. Dia seperti bunga, seperti sungai yang tidak pernah berhenti mengalir, bunga, sejak kuncup mungil yang muncul diantara dedaunan, batang tumbuh berlahan, lalu muncul kelopak berwarna putih dari kehijauan kuncupnya, hingga menjadi bunga yang bulat, putih, dan ceriah yang membuka dan menutup melalui beberapa fajar, beberapa senja. Bunga itu bertahta anggun, lalu berlahan keriput dan menghilang secara mistrius, tidak ada titik, tidak ada jedah, hanya ada arus kecil yang mengalir tanpa henti. Begitulah cinta. Tiada berujung. “Maka cinta diantara kita harus banyak menghasilkan bunga mekar yang harum” Terangku, lalu akupun melanjutkan “Karena Cinta pada dasarnya bukanlah kekuatan emosional, tetapi kekuatan ontologis, ia inti kehidupan, lebih tepatnya penyatuan dinamis atas sesuatu yang tercerai-berai.”
Aku diam menunggu jawaban Dewa, tidak ada tanda-tanda dia menjawab, biasanya setiap argumenku aku selalu memancing daya kritisnya, biasanya aku menikmati kepenasaran Dewa. Dewa sedang diam dan berpikir, tentu aku tahu apa yang sedang dipikirkannya, bukankah beberapa hari lalu dia berbicara tentang batas senja. “Pada akhirnya kita harus sepakat, bahwa hubungan ‘kita’ dibatasi senja.Kita harus sepakat bahwa bercinta seperti ini sudah sangat cukup mengurangi dahaga”. Demikian yang dia bilang padaku di suatu siang.
Lama kami saling diam, lalu, ada genangan dimatanya, kusapu tetesan yang keluar dari matanya dengan jempol sebelah kananku. Wajah kami semakin mendekat, Dewa pejamkan matanya, setelah beberapa saat bibir kami menyatu, ada gerakan aneh pada lidah kami, gerakan ahamkara,gerakan yang menuntun kami menuju ketentraman jiwa, jiwa kami melayang tanpa ingat kepentingan pribadi kami, kami melebur dalam sensasi magis. Peleburan dan pergumulan kami terhenti ketika tanganku menyentuh paha kanannya yang belum pulih akibat kecelakaan. Dewa kesakitan. Lama kami saling diam dan berpandangan. Dan, akupun menyalakan rokok, tentu Dewa tidak suka dengan asap rokok, bukan karena polusi tapi karena kesehatanku. Ciuman tadi ternyata mampu membuat peleburan cara berpikir antara kami, kami mulai membangun peta realitas-sadarnya, respon-respon emosi dalam rentang yang luas melekat pada apa yang kami rasa dan pikirkan, mungkin saja ini merupakan variabel dari keyakinan, dan karena itulah yang memicu emosi pada setiap gerakan ahamkara pada lidah kami.
“Emosi tidak hanya membantu kita mempertahankan keyakinan, keyakinan bahwa kita mencintai, mencintai dengan memberi” Aku mulai membuka pembicaraan lagi. Tetapi juga membela kita dari keyakinan-keyakinan lain yang mengancam keyakinan kita, caranya dengan mencari konsistensi dan pertalian dari apa yang kita yakini. Tambahku, sambil memeluk dan mendekap Dewa di pangkuanku.
“Ia, keyakinan terkadang selalu berubah, bahwa otak kita terus menerus membayangkan dan menghasilkan perspektif alternatif tentang realita, kelenturan ini boleh jadi adaptasi pikirian terhadap situasi baru dan tak lazim, seperti hubungan kita” Jawab Dewa, sambil membenarkan kancing bajunya.
“Perspektif alternatif, tentu saja lahir dari interpretasi cara kita berpikir, produknya adalah keyakinan” tambahku. Aku tahu Dewa belum mengerti maksudku. “Jadi begini” jelasku kembali berdialektika, seperti musik yang merupakan interpretasi saraf atas bunyi, warna adalah interpretasi atas cahaya, mata dan sistim visual membantu membedakan berbagai frekwensi cahaya, kita tidak melihat frekwensi melainkan cahaya sebagai konsef. Merah, hitan, putih adalah kesepakatan atas konsef yang membentuk realita. Sama dengan matematika, meskipun dia ilmu pasti tapi sesungguhnya matematika adalah ilmu tentang kesepakatan, dan penjumlahan terjadi jika hanya jika kita sepakat mengunakan sistem bilangan desimal/persepuluhan. Poinnya begini, bahwa mencintai tidak boleh tunduk pada variabel konsef misalnya norma tabu apa lagi batas senja, mencintai adalah mencintai, cinta adalah soal eksistensi manusia, soal apa yang kita yakini. Cinta yang demikian tentu saja tidak boleh resesif estatik, resesif pada lokus lalu menekan ekspresi lokus lain. Sampai disini aku diam, aku merelakan menampar pipiku sendiri.
“Maafkan aku, Dewa”, bujukku., aku mulai sadar. Aku tahu selama ini aku cenderung resesif bahkan terlalu agresif, aku selalu saja mulai dari diriku, kepentingan egoku. Tak pernah aku berpikir yang titik pijaknya adalah kamu. Benar bahwa pribadi yang mementingkan dirinya sendiri tidak mampu mencintai orang lain, namun juga tidak mampu mencintai dirinya sendiri. Sementara bukankah kamu pernah bilang padaku “Aku mencari dan memburu agar tahu, aku ingin belajar tentang hal yang menjadi ketertarikan mu....Dan jika nanti aku telah menemukan diriku jatuh cinta, maka, aku tidak tahu untuk apa”.
Di luar hujan mulai turun, ku peluk Dewa, tak ku biarkan dia pulang meninggalkanku malam ini, malam ini senja tak lagi menjadi membatas. Pada kursi reot bersandaran bantal berwarna merah itu, Dewa tidur dipangkuanku, aku tetap duduk menjaga tidurnya sambil berbisik “Biarlah hanya kita yang paham rasa, aku mengembara dalam dirimu, terima kasih tuhan Engkau telah mengirim Dewa untukku, karena pada dirinyalah letak penyempurna kisah.”
***
Hujan sepertinya berhenti, lalu terdengar azan subuh dari Masjid seberang jembatan, aku terbangun dari tidurku, tidak ada jendela yang terbuka, tidak ada pintu yang belum di tutup dan tidak ada Dewa dipangkuanku. Bantal berwarna merah yang menjadi sandaran kursi itu basah oleh air mataku. Air mata dari permulaan getaran-getaran yang memisahkan kekasih dari ruang dan matra lalu membawa mereka pada ilham dan impian. Aku bermimpi, mimpi untuk memuaskan atau pemenuhan hasrat (wish fulfillment) atas dorongan akumumulasi insting alamiah yang tersumbat dan dibatasi senja. Senja yang memakan banyak waktu, ketika yang di harap hanya tergerus semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H