Sependek yang saya ketahui, di jaman aesthetic yang kerap kali keliru dimaknai dengan semua yang "kalem-kalem" seperti sekarang ini sudah berkurang orang yang masih tertarik dengan hal-hal yang berbau tradisional, khususnya dengan wayang kulit. Boro-boro tertarik dengan wayang kulit, kesenian pertunjukann wayang kulit itu sendiri pun sedikit demi sedikit memudar eksistensinya di masyarakat. Tergerus dengan banyaknya budaya luar yang masuk, kenyataan yang tak terbantahkan di era sekarang ini adalah perubahan yang cukup banyak soal gaya hidup masyarakat dari tradisional ke modern. Baik dari segi fashion, seni, maupun sosial, budaya dan sebagainya.
Namun tak kalah estetik, bagi penikmatnya, khususnya keluarga saya, daya tarik wayang yang kami pajang di dinding rumah jauh lebih menarik daripada segala hal-hal modern. Entah di jaman sekarang terlihat terlalu kuno atau terlalu Jawa, wayang masih memiliki tempat istimewa bagi kami. Bagi orang Jawa, wayang adalah "wewayanganing ngaurip" atau refleksi hidup manusia. Wayang yang kami pajang di dinding rumah memiliki daya tarik tersendiri, seperti filosofinya. Kata wayang memiliki dua arti. Yang pertama kata "ma hyang" yang berarti roh spiritual, dewa, atau Tuhan. Sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Jawa yang artinya bayangan. Filosofi wayang tidak jauh dari filosofi barat dimana wayang ada didalam diri sanubari setiap manusia secara universal. Misalnya Yunani kuno, filsafat adalah the love of wisdom, sedangkan filosofinya versi jawa yaitu the love of wisdom and the love of perfectness, perfection. Yang menjadi prinsip orang jawa untuk mencapai kesempurnaan hidup, dengan maksud ingin manunggal atau menyatu dengan yang kuasa. Dalam wayang tersirat nilai-nilai religius dalam setiap tokoh, agama apapun yang dianut dalam rangka untuk mencapai kesempurnaan hidup digambarkan dalam kayon sampai manusia bisa mencapai kesempurnaan hidup yang diinginkan. Manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan (ngerti mula bukaning ngaurip) itu prinsip dari wayang secara keseluruhan lewat lakon-lakon yang disampaikan dalang melalui figur-figur tertentu.
Sama halnya dengan orang-orang yang senang mengkoleksi action figure dari film-film atau memasang foto idolanya di dinding kamar, kami memilih wayang sebagai simbol kebanggaan kami sebagai orang Jawa. Orisinalitas wayang ini juga merupakan daya tarik tersendiri melihat bagaimana suatu karya diciptakan seseorang tanpa menggunakan mesin apapun. Butuh waktu yang tidak sedikit, proses pembuatan wayang kulit semacam ini membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang ekstra. Mulai dari pengeringan kulit ternak yang memakan waktu paling tidak 2 minggu setelah disembelih, penggambaran sketsa, pemahatan, hingga pelukisan yang memerlukan ketelatenan dan kreatifitas yang tinggi. Di dinding rumah kami terpasang 7 wayang yang agak lebih besar dari ukuran aslinya yang kami gantungkan di dinding. Diantaranya yaitu tokoh wayang Adipati Karna, Bima, Arjuna, Gatotkaca, Semar, dan Petruk. Untuk ukuran wayang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan, pajangan wayang yang kami miliki sedikit lebih besar karena memang hanya digunakan untuk hiasan dinding. Nah readers, melalui tulisan ini saya ingin berbagi sekelumit yang saya tahu mengenai tokoh-tokoh wayang yang sangat familiar di telinga kita.
Wayang yang diceritakan lahir dari telinga Dewi Kunti ini adalah Adipati Karna, atau juga dikenal sebagai Suryaputra atau Basukarna, yang merupakan kakak tertua dari Pandhawa lima yakni Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa. Sejak lahir ia sudah harus rela dibuang di sungai Aswa dan tumbuh tanpa mengenal orang tuanya dan melepas status kebangsawanannya demi menjaga kehormatan ibunya. Dan meskipun demikian, Karna tetap memaafkan dan mengakui Dewi Kunthi sebagai ibunya setelah beranjak dewasa dan menjadi penguasa Kerajaan Angga. Tokoh ini menunjukkan kepada kita, tidak ada manusia yang sempurna. Orang baik tidak selamanya baik, dan orang jahat juga tidak selamanya jahat. Berasal dari keturunan bangsawan yang dibesarkan dari kalangan rakyat biasa, Adipati karna dikenal sebagai ksatria yang angkuh namun juga dermawan dan murah hati. Ia pernah bersumpah untuk membantu siapapun yang datang kepadanya untuk meminta bantuan dan memastikan bahwa orang yang meminta bantuan tersebut tidak akan pulang dalam keadaan tangan kosong. Sosok Adipati Karna juga menunjukkan sisi lain pengabdian dan pengorbanan demi sebuah sumpah dan janji, dimana Karna memilih untuk memihak Kurawa dan mati di perang Kurukshetra.
Readers pasti sudah tau, wayang diatas adalah Semar Badranaya. Terdiri dari kata bebadra dan naya yang maknanya melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia. Banyak sekali versi cerita Semar yang menceritakan bahwa Semar adalah jelmaan dewa yang memiliki senjata kentut yang bisa menyadarkan manusia. Jika anda pernah bertanya tanya mengapa Semar digambarkan memiliki raut wajah yang setengah sedih setengah tersenyum, hal ini dikarenakan raut awajah tersebut merupakan simbol bahwa di setiap sendi kehidupan manusia tak terlepas dari suka dan duka. Meskipun sosok wayang ini hanyalah abdi kerajaan, namun diceritakan bahwa pandhawa pun sangat menghormati Semar karena sifatnya yang "nyegara" atau memiliki hati seluas samudra.
Sedangkan tokoh wayang yang biasanya muncul di sesi "dagelan" ini adalah putra kedua dari semar yang bernama Petruk. Petruk memiliki ciri khas berbadan tinggi dan hidungnya yang paling mancung. Bersama dengan, Semar, Gareng, dan Bagong, mereka ber-empat merupakan abdi sekaligus penasehat kerajaan yang disebut Punakawan. Puna berarti paham, dan kawan berarti teman. Banyak petuah-petuah yang disampaikan Petruk dalam berbagai cerita, salah satunya kalimat "kawula iku tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates" yang bermakna pesan demokrasi, bahwa tidak akan ada pemimpin jika tidak ada rakyat yang dipimpin atau dengan kata lain bahwa kekuasaan terbesar ada di tangan rakyat. Petruk sebagai representasi "wong cilik" dalam wicarita pewayangan ini merupakan karakter yang teliti dan selalu berpikir panjang dan juga peka terhadap sekitar. Dikisahkan dalam cerita "Petruk dadi ratu" petruk juga mencontohkan dalam adegan petruk kehilangan kapak yang membuatnya seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, menggambarkan bagaimana seseorang yang kehilangan jati diri yang teramat penting.