"Nak, maaf..., mulai bulan depan biaya makan akan naik menjadi Rp.120.000/bulan. Masalahnya, harga sembako di pasar terus melonjak naik."
Pemberitahuan itu membuat selera makanku hilang.
Sebenarnya, saya sudah menduga sebelumnya, cepat atau lambat kenaikan biaya makan kami akan segera dilontarkan oleh ibu pemilik warung makan langganan kami. Mengingat krisis moneter semakin hari semakin menjadi, harga barang-barang membubung tinggi, hingga akhirnya melumpuhkan daya beli masyarakat.
Bayangkan, awalnya biaya di tempat makan langganan kami itu sebesar Rp.50.000/bulan (untuk dua kali makan, yaitu siang dan malam). Tapi semenjak krisis moneter tahun 1997/1998, saat dollar membubung tinggi, ternyata harga-harga terus merangkak naik. Tentu imbasnya kemana-mana, termasuk kenaikan biaya makan kami.
Itu masih satu item dari kebutuhan mahasiswa loh! Belum lagi kenaikan harga kebutuhan lainnya.
Masih segar diingatanku, harga sabun mandi merk "L" di warung sebelah kos-kosan kami, awalnya cuma Rp. 350 saja, tiba-tiba sudah menembus angka Rp.1.200.
Sedih dan tak berdaya, semua barang-barang pada naik, tapi kiriman dari kampung (orangtua) tidak serta merta mengalami kenaikan. Berdasarkan survei kecil-kecilan kepada beberapa anak kos, bahwa kiriman dari orangtua masih berkisar Rp.200.000/bulan. Bila dibandingkan dengan kenaikan harga-harga, maka dipastikan seorang anak kos harus semakin ekstra ketat mengalokasikan dananya. Bahkan tidak semua kebutuhan lagi terpenuhi.
Krisis itu memang benar-benar dahsyat dan membuat masyarakat menderita.
Itulah sepenggal pengalamanku ketika masih jadi mahasiswa, disaat Indonesia dilanda krisis moneter. Harus diakui bahwa mahasiswa adalah salah satu kelompok masyarakat yang benar-benar turut merasakan derita akibat krisis moneter yang terjadi.
Sesungguhnya, mengapa terjadi krisis ekonomi 1997/1998? Salah satu faktor penyebabnya karena risiko sistemik. Resiko yang terjadi di suatu negara merambat ke negara lain. Kegagalan suatu bank bisa berimbas ke bank lain. Layaknya efek domino.