Lihat ke Halaman Asli

Thurneysen Simanjuntak

Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

Masihkah Sekolah Menjadi Pilihan di Era Industri 4.0?

Diperbarui: 28 Februari 2019   08:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siswa kelas II-III Sekolah Highscope Jakarta mengerjakan tugas yang diberikan guru di kelas,| Kompas/Yuniadhi Agung

"Apakah sekolah itu masih diperlukan di era digital dan internet seperti sekarang Pak? Sementara materi yang diajarkan di sekolah hampir semuanya sudah ada di internet." Begitu pertanyaan seorang siswaku ketika berdiskusi tentang topik lembaga pendidikan pada pelajaran Sosiologi di kelas.

Saya mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin. "Sekolah itu masih perlu atau tidak, tergantung alasan kalian datang ke sekolah. Jika alasan kalian datang ke sekolah hanya untuk memperoleh pengetahuan (kognitif), maka sekolah itu sesungguhnya tidak perlu." 

"Benar seperti yang Anda katakan. Belajar saja dari internet. Sebab, hampir semua informasi dan pengetahuan yang kamu butuhkan, sesungguhnya ada di internet. Tapi kalau kamu ingin belajar nonkognitif yang tidak kalah penting dari sekedar kognitif, maka datanglah ke sekolah. Ada banyak nonkognitif yang harus kamu pelajari untuk mempersiapnkan masa depan dan untuk dapat hidup bermasyarakat dan berbangsa dengan baik, seperti kecakapan hidup (life skill), karakter, prinsip-prinsip kehidupan."

Sambil menatap siswaku satu per satu, saya melanjutkan penjelasan. "Secara praktik, di sekolah sesungguhnya banyak hal yang sudah kalian pelajari diluar kognitif tersebut."

"Kalian dapat belajar menghargai orang lain, berinteraksi dengan sesama, belajar menyelesaikan masalah ketika menghadapi konflik dengan teman, belajar menghargai waktu atau disiplin, melatih tanggung jawab, belajar bangkit dari kegagalan, berlatih memecahkan permasalahan hidup, berpikir kritis, melatih diri dalam mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu, bekerjasama dengan orang lain, berempati atau menolong sesama, dan masih banyak lagi. Hal itu tentu tidak akan kamu temukan ketika belajar dari internet, bukan?"

Selesai mengakhiri penjelasan dari pertanyaan tersebut. Siswa yang bertanya terlihat manggut-manggut saja, mungkin sebagai pertanda memahami apa yang saya maksudkan. 

Untuk memastikannya, saya pun mengkonfirmasi siswa tersebut apakah sudah benar-benar memahami apa yang saya maksudkan. Anak tersebut pun mengiyakan sembari mengucapkan terima kasih.

Sumber gambar : Senior SDH-LC

Nah, ini adalah tugas berat dan tanggung jawab bersama. Saatnya para pembuat kebijakan dan praktisi di pendidikan formal (sekolah) semakin menyadari hal itu. Bahwa sekolah bukan semata-mata untuk menjejali anak didik dengan kognitif. 

Kesuksesan mendidik, sesungguhnya ketika mereka memiliki kecakapan hidup dan karakter yang baik serta memegang prinsip-prinsip kebenaran berdasarkan nilai-nilai religi. Hingga menampilkan kehidupan yang lebih arif dan bijaksana di kehidupan sehari-harinya.

Sejatinya pendidikan dari dulu hingga sekarang belum berubah. Pendidikan itu utamanya mengajarkan tentang ilmu-ilmu kehidupan. Artinya, pendidikan itu harus membangunkan kesadaran anak didik, apa itu hidup? Mengapa harus hidup? Serta bagaimana harus hidup? Bukan agar pintar secara kognitif dengan melahap berbagai teori dan konsep.

Tetapi dengan pendidikan seseorang diharapkan hidupnya dapat lebih bijaksana, mengerti mengapa dia mempelajari segala sesuatu di sekolah dan bagaimana harus mengaplikasikannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline