Sampai kapan hoaks di media sosial akan berakhir? Hanya dua caranya. Ketika jaringan internet benar-benar berhenti dan penyebar hoaks sungguh-sungguh bertobat hidupnya.
Pertanyaannya, mungkinkah jaringan internet akan berhenti di era digital? Jawabnya singkat saja, tidak mungkin. Mengingat era ini sudah hampir semua aspek kehidupan dan kegiatan telah terkoneksi dengan jaringan internet, tidak terkecuali dengan media sosial. Apalagi era ini sering dijuluki sebagai era Revolusi Industri 4.0 yang artinya industri tersebut telah melekat dengan kebutuhan akan internet.
Sesungguhnya internet tidak salah, begitu pula dengan media sosial. Pelakunya sendiri yang menyalahgunakannya. Ibarat pisau dapur, sejatinya untuk memotong bawang, tetapi ada yang menggunakannya untuk melukai orang lain.
Nah, kalau begitu, kita berharap saja para penyebar hoaks tersebut segera sadar dan bertobat atau barangkali harus "dipaksa bertobat" oleh aparat hukum.
Hoaks sesungguhnya bukanlah barang baru. Menyebarkan berita bohong atau sesuatu yang tidak benar sejak dulu sudah ada. Bahkan kalau kita bicara umurnya, maka hoaks sesungguhnya seumuran dengan kehidupan manusia itu sendiri. Hanya bentuknya saja yang berbeda.
Kalau dulu, hoaks dilakukan di dunia nyata saja, maka sekarang sudah pindah ke dunia maya. Penyebarannya pun lebih cepat dan masif. Terutama menjelang pemilu seperti sekarang, maka hoaks pun tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Sebagai orang yang berhati nurani, kita tidak habis pikir dengan para pelakunya. Begitu mudahnya membuat hoaks dan menyebarkannya di dunia maya. Seolah tanpa beban dan sepertinya tidak merasa berdosa dan bersalah melakukannya.
Mereka tidak memikirkan dampak buruk yang ditimbulkannya, bukan saja karena merusak fakta, tapi dapat menghancurkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa serta menanamkan luka dalam diri masyarakat luas.
Masalahnya, hoaks tersebut ternyata ada juga yang mengkonsumsinya tanpa berpikir kritis akan kebenarannya. Celakanya, berpendidikan tinggi tidak menjadi jaminan untuk mampu menolak hoaks. Walau diantaranya ada yang menerimanya bulat-bulat demi kepentingan diri atau kelompoknya.
Antara kepentingan dan hati nurani mungkin pada awalnya pasti berseteru, tapi kenyataannya lebih memilih takluk pada kepentingan daripada tunduk pada hati nurani. Itulah pokok persoalannya.
Sekitar dua bulan lagi, 17 April 2019, bangsa kita akan menggelar pemilihan nasional. Baik pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres). Berharap melalui pemilu ini terpilih wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan yang benar-benar pro rakyat. Mampu membawa bangsa ini menuju cita-cita dan tujuan NKRI yang telah ditetapkan founding fathers sejak semula. Sehingga kita dapat mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Untuk itu, kita harus memilih kandidat pemimpin yang berintegritas berdasarkan hati nurani. Bukan memilih atau mendukung kandidat pemimpin secara membabi buta. Atau, janganlah memilih karena faktor-faktor tertentu lainnya yang tidak ada hubungannya dengan kuallitas dan kompetensi dari kandidat pemimpin tersebut.