Lihat ke Halaman Asli

Thurneysen Simanjuntak

Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

Aku Hanya Mendonorkan Darahku, tapi Dunant Mendonorkan Hidupnya

Diperbarui: 18 September 2018   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : IG @kemenkes_ri

Gajah mati meningalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Begitu pepatah yang sering diulang-ulang oleh guruku ketika duduk di bangku sekolah dasar.

Tentunya guru kami ingin mengajar dan menanamkan arti pentingnya kehidupan bagi anak didiknya. Mulai dari pentingnya menjaga nama baik diri seseorang, hingga berbuat sesuatu yang bermakna bagi orang lain selagi masih hidup.

Bukan semata karena bertujuan agar dikenang dan mendapat pujian maka kita melakukan kebaikan. Tetapi tidak menutup kemungkinan, apa yang kita lakukan memang akan dikenang orang lain, karena hal itu secara otomatis akan tercatat sebagai sejarah kehidupan.

Jadi kebayang gak kalau yang kita melakukan adalah hal-hal yang negatif, jelek dan buruk? Bagimana orang akan mengenang kita? Nah, oleh karena itu lakukanlah sesuatu yang positif, yang berguna bagi orang lain dan benar berdasar nilai religius maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Sebenarnya, sebelum guru kami pun mengajarkannya tentang hal tersebut, sesungguhnya telah menjadi filosofi dari kehidupan banyak orang di muka bumi ini. Dunant tidak terkecuali.

Siapa sesungguhnya Dunant yang saya maksudkan?

Dunant atau lengkapnya Jean Henry Dunant, lahir di Jenewa - Swiss 8 Mei 1828. Dia adalah seorang Calvinist yang taat. Kedua orangtuanya selalu menekankan pentingnya nilai kegiatan sosial.

Kemudian Dunant adalah seorang pemuda yang menyaksikan langsung perang mengerikan antara pasukan Prancis dan Italia melawan pasukan Austria di Solferino, Juni 1859. Dia mencatat kenangan dan pengalamannya dalam buku "A Memory of Solferino". Itulah yang mengilhami terbentuknya Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863.

Tahun 1901, berkat jasa-jasanya, maka Dunant pun dianugerahi nobel perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan mengawali proses terbentuknya Konvensi Jenewa.

Dunant memang telah tiada, tapi namanya tetap dikenang. Apa yang pernah dilakukannya hingga sekarang masih tetap berpengaruh di muka bumi.

Selain Dunant, ada satu nama lagi yang menarik perhatianku. Boentaran Martoatmodjo. Beliau adalah kunci didirikannya Palang Merah Indonesia (PMI) atas perintah Presiden Soekarno 3 September 1945. Alasan penunjukan tersebut bukan tanpa sebab, karena beliau saat itu adalah Menteri Kesehatan Pertama RI Kabinet Presidensial. Akhirnya 17 September 1945 PMI pun terbentuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline