Lihat ke Halaman Asli

Thurneysen Simanjuntak

Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

Seni Itu Ibunya Kreatifitas

Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

DSebagian besar orang dalam masyarakat kita, meski mungkin mereka sebenarnya mempunyai kesadaran yang lebih besar, berbicara seolah semua individu bisa dinilai dengan menggunakan satu takaran, yaitu pandai atau bodohnya mereka secara intelektual saja. (Howard Gardner)

Dalam buku-buku yang ditulis Howard Gadner, tentang teori multiple inteligence mengatakan bahwa setiap orang ternyata memiliki kekuatan masing-masing dalam hal kecerdasan. Ada yang memiliki kemampuan logika dan matematika, musik, kinestetik-jasmani, linguistik, spasial, antarpribadi, intrapribadi dan naturalis.

Sumber gambar : https://sites.google.com/a/creteschools.org/mrs-carriker-s-kindergarten-class/multiple-intelligences

Jadi ternyata, kita tidak bisa menyamakan atau mununtut seseorang untuk menguasai sesuatu lebih, jikalau itu bukan bagian dari kecerdasannya.

Saya pun teringat dengan saudara tua saya, anak yang paling sulung di keluarga kami. Sejak sekolah dasar hingga sampai sekolah kejuruan (STM), setiap hari kerjanya melukis atau menggambar saja. Terkadang orangtua pun menegurnya agar lebih rajin membaca daripada menggambar.

Tetapi itulah yang namanya minat, agak sulit untuk dilarang. Dilarang sedikit malah menimbulkan masalah baru. Pada akhirnya, kesadaran orangtua kami pun tidak terlambat. Orangtua kami akhirnya justru lebih memilih untuk mengarahkannya masuk kuliah yang ada kaitannya dengan menggambar dari pada melarangnya terus-terusan. Dan tidak bisa saya bayangkan jikalau tadinya dia kuliah bidang yang lain yang tidak dia senangi, apakah dia mampu atau serius menyelesaikannya? Susah untuk dijawab.

Ada satu hal yang menarik yang saya amati dari saudara saya tersebut, akibat rajin menggambar maka unsur kreatifitasnya pun tergolong tinggi. Banyak perabotan di rumah kami yang dikerjakannya. Seperti meja belajar dan lemari. Belum lagi barang-barang yang tidak berguna bisa bermanfaat kembali. Bahkan kebiasaan tersebut masih dilakoninya hingga sekarang.

Begitu pula ceritanya dengan anak sulung kami. Sekarang usianya sudah sebelas tahun.

Sejak berumur dua tahun, anak sulung kami  mulai senang corat-coret kertas dan tembok. Jadi wajar kalau rumah kami selalu berhiaskan coretan yang tidak beraturan, dimaklumi aja, toh tembok rumahnya bisa dicat ulang lagi. Daripada menghambat imajinasi dan kreasi anak yang lagi berkembang, tentu lebih rugi nantinya.

Dokpri

Saya pun tidak akan menghambat hasratnya. Saya lebih baik memasilitasi daripada melarang. Untuk itu, saya mulai membeli buku gambar dan tentu dengan alat menggambar sekaligus untuk keperluannya. Uniknya, sejak kecil, dia ternyata senang dengan Faber Castell karena lebih nyaman dipakai dan warnanya juga cukup jelas, begitulah pengakuan anakku. Sesekali dia pernah mencoba merk lain, tapi sepertinya belum menemukan keasikan menggambarnya dibanding kalau menggunakan Faber Castell.

Sejak kecil, saya pun mendorong anak saya untuk ikut lomba mewarnai atau menggambar. Setidaknya melalui lomba yang diikutinya dapat meningkatkan percaya diri, berinteraksi dengan orang lain, hingga menumbuhkan semangat berkompetisi yang positif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline