Lihat ke Halaman Asli

Thurneysen Simanjuntak

Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

Tujuh Hari Bersama Perempuan

Diperbarui: 22 Desember 2015   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(Edisi Hari Ibu)

Peristiwa penting dalam sejarah perempuan di Indonesia, salah satunya terjadi pada 22 Desember 1928. Ini kali pertama perempuan berhasil mengadakan kongresnya yang dihadiri 1000 orang peserta. Duapuluhlima tahun kemudian, Presiden Soekarno meresmikannya tanggal tersebut sebagai peringatan hari ibu tepatnya tahun 1953 dalam dekrit presiden no.316.

Untuk menyambut peringatan hari ibu tersebut, saya mencoba berkomitmen mengikuti tantangan menulis di status facebook saya. Penyelenggara tantangan menulis tersebut adalah Sinergia Consultant.  Selama tujuh hari penuh saya memenuhi status saya dengan tema tentang perempuan. Inilah cuplikan tulisan saya yang sekaligus menjadi status saya di fecebook tersebut.

Day1

Wanita

Wanita itu adalah kasih (love). Ibu adalah salah satu sosok yang pantas menyandangnya. Dari kecil setiap anak selalu diajari lagu tentang “Kasih Ibu”. Saya yakin semua ingat liriknya. Kasih Ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia. Lagu yang begitu indah, yang menggambarkan siapa sebenarnya seorang ibu tersebut.

Kasih ibu adalah kasih “karena” bukan “supaya”. Layaknya kasih Tuhan kepada umat manusia. Tuhan mengasihi manusia karena Dialah Sang Cinta. Ibu mengasihi anaknya juga adalah karena dia adalah cinta. Kasih ibu kepada anaknya tanpa syarat apapun, bahkan bukan supaya kelak mendapatkan pamrih dari anaknya.

Semenjak di kandungan, lahir, bahkan sampai besarpun perjuangan ibu tidak pernah berhenti memberikan hatinya kepada anaknya. Mulutnya penuh dengan doa yang begitu tulus selalu dipanjatkan kepada Tuhan agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang dan bisa menjadi orang berhasil kelak. Tangannya tidak pernah berhenti mulai pagi, siang dan malam untuk berkarya bagi anak-anaknya. Kakinya tidak malas untuk bergerak menghantarkan anak-anaknya ke masa depannya. Matanya tidak pernah terpejam untuk mengawasi anak-anaknya agar tetap berada pada ajaran yang benar sesuai Firman Tuhan. Dia selalu menghibur diri dengan tangisan tanpa terlihat oleh orang lain.

Sosok kedua yang pantas menyandang wanita adalah kasih adalah pendamping hidup (istri). Beberapa kutipan dari kitab amsal ini menjadi representasidari seorang istri. Kitab itu berkata bahwa istri lebih berharga dari permata. Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. Ia senang bekerja dengan tangannya. Ia bangun kalau malam, lalu menyediakan makanan untuk seisi rumahnya. Pakaiannya adalah kekuatan dan kemuliaan. Ia tertawa tentang hari depan. Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya. Ia mengawasi segala perbuatan rumah tangganya. Makanan kemalasan tidak dimakannya Anak-anaknya bangun, dan menyebutnya berbahagia.

Dua sosok (wanita) ini, ibu dan istri adalah sosok yang mewakili cinta dalam gambar sederhana saya. Dua sosok ini pula menjadi penyokong keberhasilan seorang pria. Atau bisa disebut bahwa Dibalik Pria Sukses Ada Wanita Hebat.

Day2

Tokoh : Butet Manurung

Mengutip berita dari Kompas.com, yang pernah saya baca Kamis, 12 Juli 2014 tentang Butet Manurung. Mengatakan bahwa Indonesia kembali mencatatkan prestasi di kancah internasional setelah antropolog Saur Marlina Manurung (43) meraih penghargaan Magsaysay, yang kerap disebut sebagai Hadiah Nobel-nya Asia.

Saur Marlina Manurung meraih penghargaan ini karena kegigihannya melindungi dan memberdayakan kehidupan warga penghuni hutan Indonesia dengan mendirikan sekolah rimba. Perempuan yang lebih dikenal dengan nama Butet Manurung itu berhasil memberikan pendidikan bagi 10.000 anak dan orang dewasa anggota suku Anak Dalam di hutan Bukit Duabelas, Jambi.

Sejak 1999, Butet memilih meninggalkan gemerlap kota untuk memberikan pendidikan bagi warga suku Anak Dalam di pedalaman Provinsi Jambi. Di sana, Butet harus berjalan kaki menembus hutan belantara untuk menemui kelompok-kelompok masyarakat dan menawarkan pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline