Lihat ke Halaman Asli

Benci dari Benci

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berharap suatu saat kau membaca ini, Teman.

Kita bukan sedang terpisah jauh, sehingga untuk menyampaikan kepadamu, aku harus menuliskan ini. Di sini aku hanya ingin berbagi bersama teman-temanku yang lain. Hanya belajar dari dirimu, siapa tahu ada mutiara yang berkilau dari kisahmu. Tidak ada maksud apapun, kecuali harapan pada kebaikan yang tersimpan. Tidak ada maksud membuat namamu terkikis menjadi serpihan cela, karena sungguh tidak ada manusia biasa disuluh nyawa tanpa ada cela yang menghuni jiwa. Belajar bisa dari apapun, bukan? Salah seorang sahabat Rasul bahkan bilang, “Jika kalian belajar pada kebaikan agar bisa mengamalkannya lantas memberatkan neraca, aku memilih belajar pada cela agar bisa menghindar dan terselamatkan daripadanya,”

***

Kau pribadi yang kukenal sangat ramah, bahkan sejak awal aku bekerja di sini. Dulu, mungkin enam sampai tujuh tahun lalu. Aku, yang polos dan lugu, tidak dapat mengeja dunia kerjaku. Serba awam. Asing. Maklum, itu pengalaman pertama aku bekerja pada lembaga yang benar-benar senafas. Tidak ada yang kukenal. Dan yang selama ini kudengar, orang-orang di lembaga itu memiliki integritas tinggi, sosok-sosok yang dikemas secara ekslusif, menyisakan ketakutan tersendiri, karena artinya, aku dihadapkan pada dunia profesional yang menjunjung tinggi idealisme. Sementara aku, tak ubah bayi baru lahir. Menebak-nebak setiap ruang yang terlihat, dituntut untuk mengenal, untuk hafal, biar tidak salah jalan.

Kau datang, mengulurkan tangan. Memberikan aroma persahabatan yang sangat didambakan orang-orang baru di sebuah institusi atau komunitas. Kau yang pertama kali menghidupkan rasa nyaman bekerja di sini. Membuatku mulai melumat “kerasan”. Mengabaikan ketakutan khas anak muda polos lugu yang terdampar di dunia barunya yang kompleks. Tak peduli, di sana kau tak lebih hanya seorang bawahan. Tidak punya status yang keren dan dapat dibanggakan. Kau hanya seorang….cleaning servis

Tapi di situ istimewamu. Kau lebih mahir beberapa tingkat dari teman-temanmu lain yang memiliki peran utama di lembaga ini. Bukan mahir menjadi nahkoda menjalankan pelayaran yang menjadi tujuan lembaga ini berdiri. Tetapi mahir menciptakan warna harmoni. Kau yang humoris, nyaris memiliki segudang lontaran pemancing tawa. Meluberkan penat seharian bergelut dengan tugas dan amanat. Kau memandang sama pada sekelilingmu. Orang baru kau “manusiakan”. Orang lama kau “saudarakan”. Singkatnya, kau adalah seseorang dengan bakat sosial di atas rata-rata. Dalam lingkup kecil di sini, kau bisa “mengangkat” dirimu sendiri menjadi istimewa. Orang-orang tak lagi berpikir kau sekedar karyawan dengan status paling tidak bergengsi. Orang-orang berpikir kau hidup, bercahaya. Betapa aku melihat, kedekataanmu dengan mereka, para kustomer, nyaris menandingi kedekatan kami–yang keberadaannya menjadi roda utama.

***

Satu hal yang aku pelajari, kau selalu bersikap respek dengan orang-orang baru. Kau seolah merasakan apa yang mereka butuhkan. Kau tentu tidak bisa mengusahakan gaji mereka agar lebih tinggi, tidak bisa membantu mereka menyelesaikan tugas–karena itu bukan ranah profesionalmu. Kau hanya ingin mereka memiliki rumah. Memiliki keluarga. Alasan yang akhirnya kau katakan adalah karena sesuatu yang pernah kau alami dan itu tidak ingin dialami oleh orang baru di sekelilingmu.

“Aku dulu bekerja di sebuah tempat, menjadi orang baru. Rasanya tersiksa menjadi orang baru. Dicuekin. Disuruh-suruh. Jarang-jarang yang mendekati, sekedar mengakrabkan diri. Perlu berbulan-bulan untuk bisa sejiwa dengan tempat kerja. Dari situ, aku tak ingin teman-teman baru di sini mengalami hal serupa. Sejauh mungkin aku mendekati mereka, mengakrabi, tidak ada tujuan lain kecuali yang aku katakan di atas.”

Aku tidak mendapati pada kalimatmu itu sesuatu yang kau buat-buat, kau lebih-lebihkan. Aku dapat merasakan nilai ketulusan di dalamnya. Ah, sepertinya sudah cukup untuk menobatkanmu sebagai sosok yang saleh. Karena bagiku, saleh bukan hanya pada ritual ibadah, saleh juga memiliki simpul positif pada sekeliling–entah manusia, atau ciptaan lainnya. Dan pada dua ruang tersebut, dirimu menghuni.

Seiring waktu, di mataku, cahayamu seolah tak mengenal padam. Kau tetap menonjol. Segala kekhasanmu seperti menjadi formula yang membuat kau sosok yang istimewa. Kau berhasil menebas benteng starta–setidaknya bermula dari lingkup kecil lembaga kita. Kau membuktikan sesuatu yang mungkin tak terjangkau pemikiran teman-teman lainnya. Sungguh, tak ada yang peduli di departemen apa kau bekerja, tak peduli. Kau cerdas bermain peran. Kau rampas perhatian orang-orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline