Lihat ke Halaman Asli

Wajah Gaza dan Syria di Film The Hunger Games: Mockingjay Part 1

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418472501815178168

Sudah banyak yang mereview film The Hunger Games: Mockingjay part 1. Berserakan di mana-mana. Klik saja di google. Bagus-bagus. Ada yang fasih mengkritik—yang justru kadang membuat orang makin penasaran.  Ada yang memuji habis-habisan (seolah dapat komisi dari departemen promosi film tersebut). Intinya, semua bikin kita tertarik datang ke bioskop. Bukan cuma dateng  tentunya, tapi juga beli tiket :-)

Dari situlah, saya tidak akan mereview film yang dibintangi Jennifer Lawrence itu. Tidak akan ikut mengkritisi—mencari celah-celah yang bisa dijadikan bahan kritikan. Tidak akan pula berbusa memujinya—karena itu artinya saya keracunan. Toh saya masih jauh dari kritikus film. Dan tentu tidak perlu mengurai detil alur cerita di film tersebut. Bukan karena menghindari komentar yang menyebut tulisan saya spoiler (saya sendiri tidak doyan membaca tulisan begitu), aduh, bagaimanapun spoiler itu melumat kenikmatan kita menikmati film atau buku kan :-)

Jadi, lewat tulisan ini. Saya hanya ingin berbagi pengalaman menonton The Hunger Games: Mockingjay part 1.

Saya termasuk yang menunggu tidak sabaran film ini. Bagi saya, The Hunger Games memiliki ide cerita yang unik, orisinil. Itu yang membuat saya jatuh cinta dengan sajian cerita Suzanne Collins. Efek ketidaksabaran tersebut bukan lantas membuat saya melesat ke bioskop di hari pertama tayang. Karena kesibukan kerja dan kuliah, baru di minggu kemarin saya dan beberapa teman kesampaian menonton.

Sejak awal film berjalan, saya cukup bisa menikmati alurnya. Distrik 13 yang pada film sebelumnya diceritakan telah musnah, digambarkan masih “utuh”. Masyarakat Distrik 13 hidup di sebuah ruang bawah tanah. Tempat yang memang bukan dirancang untuk “bersenang-senang” menikmati hari-hari. Hanyalah tempat “bersembunyi” orang-orang yang menyimpan harapan atas kebebasan hidup. Tentang Distrik 13 ini, rasa penasaran saya terbayar sudah. Karena di akhir film bagian kedua: Catching Fire yang rilis tahun lalu, kita sudah diberi bocoran tentang “utuhnya” Distrik 13 dari percakapan Gale dan Katniss.

Film ini mulai mencuri emosi saya, saat Katniss meminta izin keluar dari Distrik 13. Bukan untuk mencari udara segar ya—karena sepanjang adegan di Distrik 13 saya bisa merasakan sumpeknya tinggal di ruang bawah tanah tanpa terpaan matahari dan langit biru yang memayungi. Katniss hanya ingin melihat distrik 12, kampung halamannya. Tempat yang ia dengar sudah luluh lantak dihajar pesawat-pesawat Capitol, sesaat setelah pertandingan Quartel Quell mengalami kericuhan.

Pada adegan itulah, saat Katniss Everdeen menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, saat Katniss terguncang menyaksikan pemandangan di hadapannya, langsung terbetik di benak saya, bahwa saya tidak (saja) sedang melihat Distrik 12 luluh lantak, tapi saya sedang melihat wajah Gaza, saya sedang melihat wajah Syria. Setidaknya dua negeri itu yang selama ini saya fahami tengah bergejolak. Saya saksikan kebiadaban menggelar pertunjukan akbar. Saya dengar rintihan pilu terbawa desau angin dari celah puing yang berserakan. Seolah-olah tidak percaya, semua itu ulah manusia. Seolah-olah tidak percaya, ada manusia-manusia yang " terhibur" dengan porak porandanya dunia.

Katniss menyaksikan Distrik 12 yang hancur lebur (sumber: Lionsgate)

Duh Gusti.

Yang dirasakan Katniss Everdeen saya rasa sama persis dengan yang dirasakan anak-anak Syria melihat negerinya hancur. Yang kemudian muncul di jiwa Katniss saya rasa sama persis dengan jiwa orang-orang Gaza yang terkobar menyerukan perlawanan; tumbangkan tirani, lawan segala bentuk penjajahan negeri.

Pada scene selanjutnya, Katniss dan beberapa rekan mengunjungi Distrik 8. Distrik yang sudah sekarat. Banyak masyarakat terluka akibat imbas kebiadaban Capitol. Mereka dirawat di rumah sakit darurat—sebuah ruang yang tidak layak diantara reruntuhan bangunan. Satu lagi pemandangan mengiris hati membuat Katnis tergagap. Tak selang berapa lama, tanpa siapapun menduga, Capitol mengirim pesawat-pesawat tempur, menyerang Distrik 8. Sasaran utama mereka adalah memusnahkan rumah sakit darurat, melenyapkan orang-orang yang menemukan secercah harap sesaat setelah kehadiran Katniss.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline