Karl Pooper menyebutkan bahwa salah satu ciri science adalah adanya prediksi atau hipotesis yang falsifiable. Bagaimana dengan agama? Apakah dengan demikian agama bisa disebut non-science, menurut sifat demarkasi Popper tersebut?
AGAMA didefinisikan dalam dua bagian, yakni agama samawi yang diturunkan dari langit melalui wahyu Allah dan agama ardhi, yakni agama yang berkembang berdasarkan budaya dan pemikiran seseorang di muka bumi. Namun demikian ada juga yang mendefinisikan agama berdasarkan pandangan lain seperti mengikut wilayah di mana agama itu lahir, yakni agama Semitik rumpun Arab-Yahudi dan agama Timur.
Sejarah pergulatan sains dan agama pada masa Yunani, masa renaisans, dan masa modern senantiasa terjadi sejak zaman lampau hingga modern ini. Apalagi ketika fisikawan dunia, Stephen Hawking, melalui bukunya The Grand Design dengan lantang mengatakan bahwa dunia bukan diciptakan oleh Tuhan. Pernyataan Stephen Hawking tentu menimbulkan reaksi dari berbagai pemuka agama Islam, Katolik, dan Protestan.
Sain yang didasari dengan konsep rasional empiris tak seharusnya semakin jauh dengan agama, karena apa yang dijelaskan secara tersurat dan tersirat dalam agama (Islam) misalnya, tak semuanya harus dijawab secara empiris, tetapi benar-benar dengan keyakinan (iman). Contoh kasus pada kisah Ashabul Kahfi yang tetap hidup bertahun-tahun dalam gua, peristiwa Isra' dan Mi'raj nabi Muhammad, dan berbagai kisah lainnya yang tetap bersinggungan dengan sains.
Agama dan Sains
Agama Islam membahas sains baik dalam kitab suci al-Qur'an maupun hadis, seperti pertemuan dua laut, luar angkasa, rotasi planet, hitungan tahun, khasiat madu, kronologis kejadian manusia, dan lain sebagainya.
Demikian juga dengan hadis yang sangat detail menjabarkan kandungan al-Qur'an terkait materi sains, salah satu contohnya porsi makanan, air, dan udara. Materi sains dibahas dengan gamblang dan tidak terbantahkan.
Falsifikasi Agama
Dalam Islam terdapat ayat tanziliyah (wahyu) yang turun dari langit dan kauniyah (alam). Semunya boleh disangkal, hanya saja sejauh mana manusia mampu menyangkal kebenaran Allah, khususnya ayat tanziliyah. Demikian juga dengan ayat kauniyah boleh disangkal, namun sejauh mana manusia dapat melahirkan teori-teori sendiri tentang alam semesta.
Rekonstruksi metodologi riset dalam rangka pengembangan ilmu berbasis agama sangat mendesak untuk dijalankan supaya menjawab berbagai keraguan terkait sains dan agama. Hal ini sekaligus dapat membantah kekhawatiran akan pudarnya peran nilai agama yang sebenarnya justru akan semakin kuat eksistensi agama dalam sains bila dijalankannya riset-riset ilmiah.