Sabtu pagi, akhir pekan lalu, kota Kuala Lumpur, tampak belum ramai. Warga setempat, termasuk para pekerja migran dari berbagai negara sudah mulai keluar beraktivitas. Langit agak mendung, matahari pun belum tampak mengirim secerca sinar hangatnya. Deru mesin beberapa kendaraan yang melewati jalan raya, membuat suasana ibu kota Malaysia mulai hidup.
Saat santai membeli sebungkus sarapan di sebuah gerai di pinggir ruas jalan ibu kota "Negeri Jiran" itu, mata saya tertuju kepada seorang nenek sedang mendorong gerobak berisi kardus. Saya mencoba mendekatinya untuk sekadar menyapa, karena saya yakin pasti satu negara dengan saya. Tubuh yang sudah bungkuk itu tampak ringkih, wajahnya sayu dan keriput, namun tetap berusaha tegar dengan senyum hangatnya menggantikan kehangatan sinar mentari pagi yang tak kunjung menerpa bumi.
Dengan penuh akrab, kami sempat ngobrol sejenak. Sambil memperbaiki masker pink yang dikenakannya, beliau mengaku berasal dari tanah Jawa. Puluhan tahun silam dirinya merantau ke Malaysia untuk membantu ekonomi keluarga. Dalam waktu yang panjang sebagai perantau, tentu telah melalui liku kehidupan, susah senang hingga akhirnya hidup sebantang kara di negeri orang.
Sehari-harinya nenek bekerja sebagai pengumpul barang bekas, menyusuri lorong pertokoan di tengah gemerlapnya gedung pencakar langit kota Kuala Lumpur. Tak ada lagi yang mau mengajaknya bekerja, karena tak ada kerja yang cocok untuk dirinya yang sudah tua.
Ingin saya bilang agar kembali saja ke tanah air, tetapi tentu si nenek punya alasan tersendiri mengapa sanggup bertahan hidup tanpa keluarga tersayang dalam situasi yang seharusnya mereka selalu bersama. Masing-masing orang punya kisah dan jalan hidup sendiri-sendiri.
Saya tidak ingin terlalu lama mengganggu aktivitas keseharian si nenek. Bungkusan sarapan yang masih panas, segera saya berikan untuk nenek dan tak lupa menghulurkan selembar uang kertas buat nenek nyeruput kopi hangat di saat istirahat karena lelah mendorong gerobaknya.
Saya yakin si nenek menikmati kesehariannya. Mungkin itulah ibarat kata pepatah "Hujan emas di negeri sendiri, hujan batu di negeri orang." Terkait hal ini juga saya tak mau berandai-andai terlalu banyak, karena si nenek dan saya ingin "Hujan emas di negeri sendiri, hujan emas juga di negeri orang".
Yang penting si nenek senantiasa sehat di tengah pandemi Covid-19 yang semakin menggila. Semoga juga bisa menikmati hari-hari tuanya bersama keluarga tersayang di kampung halaman.
Saya akan temui si nenek lagi. Sayangnya tidak bisa ditelpon karena tidak punya handphone dan juga mengaku tidak bisa baca tulis. Tapi walau demikian, si nenek mengaku tetap gembira, karena dirinya mengerti nilai mata uang.