Sangat mengesankan ketika bisa menulis dua buku untuk dipersembahkan kepada sekolah. Buku karya bersama: Setengah Abad Kiprah Sekolah Indonesia Kuala Lumpur: Merajut Cita Anak Bangsa di Negeri Jiran dan sebuah buku biografi sekolah: Jendela Rumah Kita: Kaleidoskop 50 Tahun Sekolah Indonesia Kuala Lumpur.
DUA WINDU silam, pertama kali saya tahu ada Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana gerangan wujudnya? Walau belum melihat langsung, tetapi saya sudah kagum dan senang kalau Indonesia memiliki sekolah untuk melayani anak-anak warga negara Indonesia di Malaysia.
Awal berkunjung ke sekolah yang disingkat SIKL ini, saya menggunakan moda Kereta Rel Listrik (KRL) dari kampus Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) menuju stasiun Putra. Stasiunnya persis di samping sekolah. Kali ini saya datang untuk memenuhi hajat demokrasi Pemilu 2004. Suasana halaman sekolah tampak ramai, bilik-bilik tempat pemungutan suara (TPS) berjejer rapi, sementara para simpatisan partai dan pendukung calon presiden dan wakil presiden menyemut di setiap sudut sekolah.
Tak lama saya berdiri di halaman sekolah, saya senang sekali karena jadi benar-benar tahu keberadaan sekolah Indonesia di Malaysia. Mencuat perasaaan kagum akan negara saya yang memiliki premis pendidikan yang hebat di Malaysia. SIKL merupakan simbol otektik kepedulian pemerintah terhadap pendidikan anak Indonesia di Malaysia.
Selanjutnya pada pertengahan Desember 2005, saya ke SIKL bersama rombongan ibu Ani Yudhoyono yang menyempatkan diri berkunjung ke SIKL. Saat itu saya sedang bersama delegasi Indonesia di Kuala Lumpur untuk mengikuti serangkaian kegiatan KTT Asean XI. Acara kunjungan silaturrahmi ibu negara bersama keluarga besar SIKL berlangsung di Aula Taufiq Kiemas.
Pada awal Maret 2012, merupakan kesempatan yang ketiga kalinya saya menginjakan kaki di SIKL. Saat itu saya datang memenuhi undangan Atdikbud KBRI Kuala Lumpur Prof. Rusdi untuk membahas rencana pengembangan layanan pendidikan jarak jauh (UT) yang saya gagas tahun 2008-2009 di Johor Bahru. Selain itu juga sekaligus bertemu kepala sekolah ibu Elslee Y.A. Sheyoputri, M.Hum yang berencana merekrut tenaga pengajar mata pelajaran Sosiologi karena guru mata pelajaran tersebut telah kembali ke tanah air.
Ternyata kesempatan ketiga ke SIKL itu merupakan takdir perjalanan kerja saya untuk berkiprah sebagai tenaga pendidik di Malaysia. Saat itu saya hanya mengajar hari Kamis dan Jumat, karena Sabtu dan Ahad saya bertugas sosialisasi pendidikan jarak jauh bagi tenaga kerja Indonesia di Malaysia.
KBRI dalam hal ini Atdikbud berjanji akan membantu menanggung pendanaan kebutuhan operasional UT Pokjar Kuala Lumpur selama empat semester. Untuk selanjutnya, sejak tahun 2014 Atdikbud meminta pengelolaan mandiri tanpa harus bergantung dengan KBRI sebagaimana mahasiswa Indonesia lain di perguruan tinggi Malaysia, yang dalam hal ini, posisi KBRI hanya membantu kegiatan kemahasiswaan saja.
Walau sudah mandiri, namun Atdikbud dan kepala sekolah tetap memberikan kebenaran untuk memakai fasilitas sekolah sebagai tempat ujian akhir semester dan kegiatan penting lainnya, seperti orientasi mahasiswa baru, buka puasa bersama, seminar kepenulisan karya ilmiah, dan donor darah.
KBRI Kuala Lumpur dan SIKL sangat peduli dengan pembinaan dan pengembangan diri masyarakat Indonesia di Malaysia. Bahkan SIKL menjadi pangkalan latihan Gudep KBRI Kuala Lumpur, tempat belajar siswa pendidikan non-formal (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), dan program pelatihan keterampilan lainnya.