Tempo doloe, Desa Seloto yang topografisnya dikeliling pegunungan begitu sangat asri. Udara sejuk dan bersih, semua itu sangat mempengaruhi psikologis masyarakatnya.
Tradisi masyarakat yang hidup rukun tampak sangat akrab dan saling melengkapi satu sama lain. Tradisi masyarakatnya gemar belajar ilmu agama, sehingga membentuk pola pikir setiap generasi yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Sekarang bisa dikatakan semua rumah pasti ada anggota keluarga yang menjadi sarjana.
Dalam banyak memori nostalgia masa lalu, yang paling sering teringat adalah media permainan tradisional rakyat yang sangat menceriakan pada masa lampau.
Situasi yang tak bisa diputar kembali di zaman milenial ini. Pergeseran budaya dan pola hidup masyarakat tradisional yang sangat mengakrabkan berubah drastis ke pola hidup yang asing.
Kini anak-anak kecil tak lagi menceriakan desa dengan permainan rakyat seperti waktu saya kecil dulu bersama teman-teman sebaya bermain sesuai musimnya.
Permainan-permainan rakyat desa Seloto yang ketika dulu sangat menceriakan situasi desa adalah, sbb: Main Ceka, Main Cilo, Main Cop, Main Pak, Main Tar, Main Mayung, Main Cungkit, Main Gore, Main Cele, Main Karet, Main Ake, Main Kelereng, Main Iwak, Main Setep, Main Ayam Kumus, Hom Pim Pa, Main Sarepok, Main Karung, Main Pake, Bagarompong Santek, Batarompa, Malongga, Salolot, Balap Karung, Nyembur, Tarik Tambang, Barapan Kebo Timpak, Barapan Ayam, dan masih banyak lagi.
Untuk saat ini, saya tidak elaborasi satu per satu kriteria permainan tersebut karena akan sangat panjang dan memakan waktu lama. Untuk sementara cukup menyebutkan nama permainannya saja.
Bagi warga Seloto yang lahir di era sebelum tahun 90-an, pasti tahu persis seluk beluk permainannya. Manakala pembaca dari daerah lain pasti juga dapat membayangkannya karena secara prinsip, permainan tradisi rakyat Indonesia hampir mirip karena proses akulturasi budaya.
Permainan rakyat berskala besar juga sedikit demi sedikit terkikis oleh waktu, seperti nyampo dan entek bua. Untuk acara nyampo atau karapan kerbau sangat beralasan karena area sawah zaman dulu banyak waktu kosong mengingat musim tanam hanya mengandalkan musim hujan, sementara sekarang sudah bisa tiga kali musim tanam setiap tahun sehingga sawah selalu berisi tanaman.
Kalau entek bua atau panjat pinang masih sering diselenggarakan terutama di hari lebaran atau peringatan 17 Agustusan, namun dengan banyaknya sepeda motor, membuat warga lebih suka pergi ziarah ke kampung lain atau bersantai ke tempat wisata, sehingga acara tradisional di kampung jadi terlupakan.
permainan tradisional rakyat sangat dipengaruhi oleh kondisi alam sekitar dan juga sumber daya alam yang ada. Walau tidak bisa dimainkan secara reguler, kiranya bagus juga kalau beberapa permainan rakyat dapat dilestarikan kembali untuk menghibur acara tertentu selama itu untuk bernostalgia keceriaan tempo doloe.[]