Pesta Demokrasi Indonesia tinggal menghitung hari. Euforianya sudah terasa di mana-mana. Lantas bagaimana tingkat daya tarik pemilihan umum presiden dan legislatif bagi para buruh migran Indonesia di Malaysia?
Sebenarnya, euforia pemilu di luar negeri tak kalah heboh dengan di dalam negeri. Walau tak bebas berkampanye, namun partai politik, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan sudah sekian lama bergerilya ke beberapa wilayah konsentrasi masyarakat Indonesia. Tujuannya untuk mensukseskan hajat akbar demokrasi Indonesia ini.
Bagi buruh migran, pemilu tak ubahnya dengan menonton sinetron yang penuh intrik, taktik dan bahkan tipu muslihat. Ini semua karena media saban hari menyuguhkan ulah politikus yang korup, mengamalkan politik uang, serangan fajar, dan juga sosok calon yang tidak memiki kapabilitas, kualitas, dan kapasitas yang mumpuni.
Sosok calon yang disuguhkan masih banyak yang tidak bisa dijadikan panutan yang layak sebagai wakil rakyat yang harus dibela-bela keluar untuk nyoblos dengan meninggalkan kerja pada hari tersebut.
Maka dari itu, sulit kalau kita permasalahkan kecilnya prosentase pemilih luar negeri yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Hal-hal tersebut di atas, telah mencederai kepercayaan buruh migran terhadap Pemilu. Pesta lima tahun sekali ini menjadi tidak lagi seksi. Pekerja migran sangat sadar bahwa selama ini, mereka hanya dijadikan komoditas untuk mencapai tujuan politik pihak tertentu.
Sulit memang mempertanyakan daya tarik pemilu bagi para migran Indonesia di Malaysia. Kalaupun tertarik, pada waktu yang sama, mereka harus taat kepada majikan karena terikat dengan kontrak kerja selama berada di luar negeri.
Para pekerja migran juga menyadari bahwa tak jarang elit politik yang mendapat dukungan besar dari buruh migran, tetapi paska pemilu tak pernah lagi kembali menyapa untuk sekadar bersilaturrahmi.
Kantor perwakilan RI setempat hanya bisa menghimbau kepada para majikan untuk memberikan waktu cuti pada hari pemilu berlangsung. Sejauh ini tidak ada aturan yang bisa menekan para majikan yang mengharuskan mereka memberikan izin libur kerja di hari H Pemilu.
Mengingat banyak para majikan yang tidak mengizinkan para pekerjanya untuk keluar ke TPS, maka solusi yang tepat adalah kotak suara keliling dan jasa pos.
Jadi selebihnya, tergantung pada kesadaran yang bersangkutan terhadap prinsip demokrasi dengan salah satu cara memberikan hak suara di pemilu 2019 ini.
Cara lain adalah tergantung pada bagaimana panitia pemilu mendesain jalannya hajat akbar bangsa Indonesia ini, supaya menarik dan mencapai sasaran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.