Burung besi jenis Boing 737-800 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang membawa saya bersama hampir 200 penumpang lainnya dari Kuala Lumpur ke Jakarta, mulai turun dari ketinggian 10,670 meter. Kapal-kapal besar mulai tampak berlayar di sepanjang Selat Sunda, melintasi deretan Pulau Seribu yang indah.
Sabtu siang (15/12) yang lalu, saat melintasi Selat Sunda, cuaca sedikit mendung, namun di kejauhan sana, lewat jendela pesawat masih bisa terlihat jelas gunung Anak Krakatau yang tersergam di tengah laut, belum terlihat reaksi kepulan asap sama sekali, seolah-olah tidur padahal sepanjang 2018, Anak Krakatau saban hari mengancam penduduk sekitar dengan status waspada dan siaga.
Gunung yang mulai muncul pada tahun 1927 ini, tercatat ratusan kali meletus pada tahun 2018. Pekan lalu, mengalami erupsi paling tinggi dan sekitar 64 hektar tebing gunung longsor ke laut hingga memicu gelombang tsunami yang mengorbankan ratudan jiwa dan ribuan penduduk mengungsi ke tempat selamat.
Ancaman bahaya Anak Krakatau jelas tak jauh berbeda dengan ibunya--Krakatau-- yang pada tahun 1883 pernah mengamuk dengan meluluhlantahkan wilayah Jawa dan Sumatera, bahkan melempar material apung hingga ke India, Sri Lanka, Australia, dan Selandia Baru. Dalam bebarapa waktu, langit Lampung dan Jakarta mencekam, gelap tanpa cahaya matahari.
Letusan Krakatau sangat melegenda karena gerakan gelombang tsunami yang dipicu oleh letusan saat itu, mencapai ribuan kilometer, terasa di Semenanjung Arab, Afrika, dan juga Amerika. Dapat dibayangkan bagaimana laut bergelora akibat jutaan kubik material vulkanik dimuntahkan ke laut. Kapal-kapal yang sedang berlayar terombang ambing kemudian tenggelam ke dasar laut.
Peristiwa kelam meletusnya Krakatau, begitu menggunvang jagat raya, selalu menjadi buah bibir masyarakat Indonesia dari generasi ke generasi hingga sekarang. Maklum saja insiden itu merupakan petaka terdahsyat dari gunung berapi di Indonesia yang paling banyak menelan korban jiwa.
Negara kita berada di lingkaran cincin api dan juga lempeng bumi yang rawan bencana gempa dan letusan gunung berapi. Memang kita tidak mungkin mampu membendung alam, namun setidaknya kita harus berusaha mengurangkan potensi jatuhnya korban jiwa dengan memaksimalkan fungsi alat peringatan dini.
Apa yang terjadi petaka di Selat Sunda dan juga di tempat lain, selalu saja alat peringatan dini bencana alam tidak berfungsi dengan baik, sehingga masyarakat panik dan tidak tentu arah untuk menyelamatkan diri.
Itulah sebabnya mengapa selalu banyak korban jiwa setiap terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Indonesia. Bila tingginya rasa kemanusiaan kita, maka harus tinggi pula keseriusan kita memastikan alat peringatan dini berfungasi dengan baik dan benar.
Semoga Krakatau kecil tidak lagi rewel, supaya penduduk sekitar bisa hidup dengan tenang dalam menjalankan kegiatan harian seperti yang mereka harapkan.(*)
Sekadar berbagi dari Selat Sunda.