Berkesempatan santai sambil "ngopi" di wilayah perbatasan darat negara (Indonesia-Malaysia) menjadi pengalaman tersendiri yang sangat berkesan. Pengalaman pertama dapat merekam langsung situasi perbatasan yang terkenal rawan dengan berbagai kegiatan penyelundupan.
Entikong, Kalimantan Barat, merupakan daerah terdepan yang berhadapan langsung dengan Tebedu, salah satu dari tiga pintu masuk resmi menuju Sarawak, Malaysia Timur. Ketika melintasi Tebedu dan memasuki pintu negara (Entikong), saya berdecak kagum. Bangunan imigrasi dan bea cukai berdiri megah dengan lambang Garuda serta bendera Merah Putih yang berkibar. Saya bangga dan senang berada di garis terdepan Indonesia.
Saya ke perbatasan ditemani oleh Sdr. Irfan dan Sdr. Mardian, dua staf Konsulat Jenderal RI Kuching. Presiden Jokowi ternyata sangat memperhatikan wilayah perbatasan. Pintu masuk Indonesia jauh lebih bagus dari pintu masuk Malaysia.
Ternyata Bukan saja pintu masuk Entikong yang dibangun oleh Presiden Jokowidodo. Saya menyaksikan geliat pembangunan infrastruktur lainnya seperti jalan raya yang dulunya sempit kini diperlebar menjadi dua jalur, Puskesmas, perkantoran dan jasa layanan publik lainnya yang tampak dibangun baru.
***
Lantas bagaimana dengan smuggling di wilayah perbatasan Entikong? "Nah hal itu sulit untuk kita bereskan," kata teman saya itu. Sebenarnya, sejak tahun 2005, saya sering melakukan reportase dan investigasi kejahatan lintas batas (transnational crime) Indonesia-Malaysia. Entikong merupakan wilayah rawan penyelundupan barang terlarang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan mobil mewah, termasuk penyelundupan perempuan oleh mucikari-mucikari licin bak belut karena sulit tertangkap oleh aparat keamanan.
Menurut sumber yang bisa dipercaya, perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak memiliki tiga pintu resmi dan 48 pintu tidak resmi yang diistilahkan "jalan tikus." Kalau pintu resmi saja rawan penyelundupan, apa lagi jalan tikus, tentu dengan leluasa para penyelundup beraksi.
***
Selama di perbatasan, tak lupa kami menikmati makanan khas Indonesia, di sebuah restoran sederhana milik warga keturunan Jawa. Menu pavorit ayam goreng kampung, ikan gurami goreng, dan ikan nila goreng ditambah ulam-ulaman daun pepaya dan terong muda yang dicolek dengan sambal khasnya masyarakat Entikong. Ternyata restoran tersebut pernah disinggahi oleh Presiden Jokowidodo saat meninjau wilayah perbatasan beberapa waktu yang lalu.
Berada di Indonesia tak disia-siakan untuk berbelanja barang-barang yang sulit ditemukan di Malaysia Timur, seperti indomee, kecap bagau, teh botol sosro, dan lain sebagainya. Lain halnya dengan Kuala Lumpur, semua barang-barang tersebut banyak tersedia di pasar Chowkit yang pernah saya tulis di sebuah media nasional dengan judul "Mini Jakarta di Kuala Lumpur."
Saat hari mulai senja, kami meninggalkan Entikong dan kembali ke kota Kuching untuk tugas rutin masing-masing.(*)