Film MARKA hasil garapan dan sentuhan Ineu Rahmawati dan Akad Syamifudin, terpilih sebagai film terpavorit pemirsa dan film terbaik di ajang Eagle Awards 2017. Dengan keberhasilan menyabet dua kategori sekaligus, membuat MARKA mendapat tiket menuju ke ajang lebih bergengsi yaitu festival film internasional.
Lewat MARKA, Ineu mengisahkan fakta keseharian kehidupan anak-anak pekerja migran di Sarawak yang bersekolah di Community Learning Center (CLC), pusat belajar di perkebunan kelapa sawit Malaysia dengan fasilitas standar yang disediakan oleh perusahaan tempat orang tua mereka bekerja.
Kisah perjalanan hidup Icha (12 tahun), seorang anak pekerja migran Indonesia di pedalaman negeri Sarawak, Malaysia Timur dikisahkan begitu inspiratif. Tak salah kalau tim juri dan juga pemirsa memili MARKA sebagai film favorit Eagle.
Icha, demikian sapaan akrab gadis belia berdarah Bugis-Paloppo, merupakan murid yang aktif, cerdas, dan berprestasi. Kini Icha telah lulus ujian paket A, di Community Learning Center (CLC) Saremas, sebuah program ujian penyetaraan yang disediakan oleh Atdikbud Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur.
Dalam artikel "Lewat Marka Anak TKI Ini Berkisah" saya jelaskan bahwa Icha dalam film MARKA adalah gadis belia yang memiliki keinginan belajar yang tinggi, bercita-cita menjadi penari dan bahkan guru tari profesional, tetapi sayang sekali perjalanan hidup Icha tak mulus, dirinya terpaksa harus putus sekolah, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah karena terbentur aturan keimigrasian Pemerintah Malaysia dan juga harus menuruti kehendak orang tuanya agar tetap bisa bekerja mengutip biji kelapa sawit di perkebunan tempat keluarganya bekerja.
**
Apa yang saya saksikan selama ini, terdapat ratusan "Icha kecil" di bumi Sarawak dan Sabah bahkan di Semenanjung Malaysia. Di Sabah dan Sarawak, anak pekerja migran hanya boleh menetap di Malaysia sampai umur 12 tahun. Setelah itu harus kembali ke tanah air untuk melanjutkan pendidikan karena jatah izin tinggal mengikut orang tua hanya dibenarkan bagi anak yang umurnya maksimal 12 tahun.
Lain lagi halnya di Semenanjung Malaysia, anak-anak pekerja migran Indonesia sama sekali tidak diberikan kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah milik pemerintah Malaysia. Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, mereka anak-anak pekerja migran juga tidak bisa bersekola di sekolah formal seperti Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) karena pihak imigrasi tidak memberikan visa pelajar dan izin tinggal di Malaysia kepada anak-anak pekerja migran pemegang permit kerja karena terkait adanya larangan menikah bagi pekerja migran baik dengan sesama pekerja migran maupun dengan masyarakat lokal setempat.
Di sinilah kendala yang dialami oleh Icha yang sudah lulus sekolah dasar dan berumur 12 tahun. Tentu harus meninggalkan Malaysia supaya bisa bersekolah di jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Masalah lebih runyam ketika orang tua Icha yang keberatan untuk pisah jauh dengan putri bungsunya itu.
Alasan ekonomi, keamanan, dan kerinduan menjadi satu penghalang Icha menggapai cita-citanya untuk bisa bersekolah dan menjadi penari profesional. Apalagi secara hukum, aturan Pemerintah Malaysia juga hanya memberikan kesempatan bagi anak TKI di Sarawak untuk bersekolah sampai jenjang sekolah dasar saja. Setelah lulus dan ingin melanjutkan ke pendidikan menengah harus kembali ke negaranya.
**