Sekitar dua abad yang lampau, tepatnya tahun 1806, Max Havelaar meluncur dan membahana bak halilintar ke semua penjuru bumi. Muka para pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda jadi merah padam, kuping mereka panas karena merasa dipermalukan oleh ulah orangnya sendiri--Edward Douwes Dekker alias Multatuliyang dengan lantang membeberkan ketidakadilan dalam praktek monopoli dagang Hindia Belanda di Nusantara.
Tak hanya itu, ketika dirinya ditunjuk oleh Gubernur Hindia Belanda Duymaer van Twist menjadi asisten residen di Lebak, Banten, Multatuli melaporkan tentang tindak arogan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Negara dan Demang Parangkujang Raden Wira Kusumah yang memeras rakyatnya atas nama kekuasaan dan menindas mereka yang lemah tanpa rasa kemanusiaan.
Ternyata bukan saja kaum penjajah yang merasa dipermalukan lewat Max Havelaar, tetapi penguasa tanah air lebih merasa ditelanjangi dengan beredarnya buku Max Havelaar edisi terjemahan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972. Dengan itu, terungkaplah sikap keji dan arogansi penguasa di Lebak yang menindas rakyat sendiri di seluruh wilayah taklukannya.
**
Dua ilustrasi yang menjadi sorotan utama adalah baik golongan Hindia Belanda (asing) maupun golongan Aristokrat setempat (pribumi), telah sama-sama melakukan tindak kriminal kepada masyarakat di wilayah kekuasaan. Dan itu merupakan gambaran kecil yang terdokumentasi selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing dan bangsa sendiri.
Semuanya berawal dari dikotomi dan diskriminasi baik itu dalam bentuk ucapan maupun sikap sehingga melahirkan reaksi publik dalam bentuk gelombang besar, khususnya penentangan.
**
Multatuli lewat Max Havelaar telah mengguncang dunia lewat tulisannya satu setengah abad silam, yang menggambarkan betapa golongan kolonial telah memeras golongan pribumi. Namun demikian, sebenarnya Multatuli adalah orang yang dinilai tidak berhasil di Lebak (Banten), Natal (Manado), dan Ambon sebagai pegawai Hindia Belanda. Maka dari itu, dia membeberkan segalah hal yang walaupun akan mencederai nama baik bangsa penjajah sebagai bentuk ketidakpuasannya atas prestasi rapor merah yang diterimanya.
Sederet akademisi tersohor dunia seperti Prof. Veth guru besar di Leiden yang melihat bahwa yang disampaikan Multatuli tak ubah dengan orang yang mengamuk untuk memperoleh simpati dan dukungan. Lain pula dengan Prof. Buys yang menandaskan bahwa lewat Max Havelaar, Multatuli hanya mengagungkan kiprah dirinya dengan mempersalahkan pemerintah Hindia Belanda yang merupakan bagsa nenek moyangnya, dan ini amat sangat keji.
Lebih mengejutkan ketika R.A Van Sandick menyanggah lewat bukunya Leed en liefuit Bantamyang ternyata malah sebaliknya menggambarkan bahwa bupati yang dikatakan Multatuli sebagai seorang tokoh feodal yang suka menindas rakyat itu ternyata dikenal oleh masyarakat sekitar Lebak sebagai orang yang suci dan soleh.
Anies Baswedan lewat naskah pidato perdananya saat dilantik di Balaikota Senin (16/10) yang lalu, telah menimbulkan reaksi besar dari masyarakat Indonesia terkait penggunaan terminologi "pribumi" dalam orasi politiknya itu. Seperti halnya Multatuli, Anies telah membuat pembesar negara angkatbicara, akademisi dan pengamat politik berkicau, dan tentunya pendukung rival politiknya mencibir.