Lihat ke Halaman Asli

T.H. Salengke

TERVERIFIKASI

Pecinta aksara

Amalia Ramadan, Literasi dan Jurnalistik Pertamaku

Diperbarui: 3 Juni 2017   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.Santriwirausaha.blogspot.com

SEWAKTU duduk di bangku sekolah dasar di Seloto, sebuah desa nun jauh di timur Indonesia--Pulau Sumbawa, guru agamaku selalu memberikan tugas membuat "Buku Amalia Ramadan" bila tibanya bulan puasa. Buku kecil yang kudisain khusus tersebut akan berfungsi untuk menulis segala aktivitas ibadahku selama sebulan penuh.

Konsekuensinya, harus selalu menunaikan ibadah solat fardu, mengaji, tarawih, mendengar ceramah, dan bangun subuh ke masjid untuk mendengar ceramah subuh.

Di usiaku yang sangat belia, memang agak berat untuk mengikuti semua itu. Tapi itulah pendidikan karakter yang ditanamkan oleh guru dan orang tua yang kadang harus sedikit dipaksa supaya terbiasa, seperti kata pepatah "ala bisa karena biasa". 

Yang paling berat dari semua aktivitas tersebut adalah merangkum inti sari materi ceramah yang disampaikan oleh Ustadz sehabis solat tarawih dan seusai solat fardu subuh. Para pelajar tidak bisa berbohong karena semua materi ceramamah, harus ditandatangani oleh petugas pengisi materi. 

Walaupun berat, ternyata bisa saja kulaksanakan dengan sempurna dan mendapat apresiasi dari guru di sekolah. Sejak itulah kucoba untuk mengembangkan intisari ceramah yang kutulis menjadi artikel pendek yang kukumpul dan kusimpan dengan baik sehingga kapan saja bisa kubaca kembali untuk menyegarkan pengetahuan dari hasil kegiatan jurnaistik dan literasiku sendiri.

Sebuah pelajaran besar bagiku karena dengan adanya buku amalia Ramadan, merupakan pengenalan literasi dini dan menumbuhkan minat jurnalistik secara sederhana. Sementara bagi siswa yang lain tentu merupakah aktivitas yang lebih terarah yang dapat dikontrol oleh guru pada setiap malam. 

**

Program amalia Ramadan tentu sarat dengan pendidikan jurnalistik, dimana siswa harus mampu menyimak, menganalisa apa yang disampaikan oleh penceramah kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Persis gaya wartawan zaman dulu yang kemana-mana membawa buku dan bolpoin untuk wawancara.

Dari kebiasaan menulis di buku amalia Ramadan, hingga kini kucoba membiasakan diri untuk senantiasa menulis dalam berbagai masalah sosial. Tak lain sebagai upaya penyegaran bagi diri sendiri dan orang lain yang berkenan membacanya.***

KL:03062017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline