SAAT berumur lima tahun, aku mulai belajar berpuasa. Yang pasti cuman setengah hari. Tepat pukul 12.00 ketika matahari tegak lurus di ubun-ubun, kupahami sebagai pertengahan sebuah siang yang bagi orang-orang dewasa "baligh" tentu berpuasa penuh.
Seperti jamaknya orang-orang lain berbuka di saat magrib, aku melakukannya di siang hari. Berbuka puasa di hari pertama lalu solat zhuhur. Karena puasa masih separuh hari, maka saat bertemu teman sepermainan tidak bisa membanggakan diri yang sudah berpuasa. Pas hari kedua berhasil mencapai setengah hari lagi maka akan kuhitung kalau aku sudah berhasil dan memiliki satu puasa.
Orang-orang tua di kampung biasa iseng nanya puasa atau tidak? Sudah berapa puasanya? Nah di hari kedua atau hari-hari selanjutnya dengan pede menjawab jumlah puasa yang kujalani. Gampang memang menghitungnya karena bila sudah 20 hari Ramadhan, berarti puasaku 10. dan kalau tamat 30 hari Ramadhan berarti puasaku 15. Tapi kalau Ramadhan
Entah kenapa aku sangat semangat berpuasa. Walau hal yang paling berat adalah bangun sahur tetapi tetap berusaha bangun walau pernah makan sahur sambil mata terpejam karena menahan kantuk yang sangat berat.
**
Bulan Ramadhan adalah bulan yang bukan saja memiliki makna religius di kampungku--Seloto, tetapi waktu itu memiliki nilai cultur yang tinggi. Berikut suasana Ramadhan di kampungku yang saya tahu juga demikian di seluruh Indonesia.
Bedug
Masa-masa kecil dulu, bedug menandakan masuk waktu, bedug sebagai media warga, dan beduq juga sebagai alat yang meramaikan suasana bulan suci Ramadhan dimana antara aktu solat fardu Zhuhur dan Ashar akan dibunyikan secara terus menerus dengan alunan yang khas. Warga kampung yang sedang tidak beraktivitas akan berduyun-duyun ke area masjid untuk menonton kelihaian para penabuh bedug yang saling bergantian. Meriah memang!
Tarawih
Tarawih pertama memang sangat ramai sekali. Warga kampung yang seharian beraktivitas di sawah dan ladang akan kembali lebih awal untuk bisa menunaikan shalat tarawih pertama. Tidak jauh berbeda volume jamaah di minggu pertama, kedua, ketiga dan keempat. Tingkat ketaatan shalat berjamaah masyarakat di kampung Seloto sangat tinggi dan bahkan menunaikan shalat fardu di bulan-bulan biasa, selalu penuh empat sampai lima shaf.
Sahur