SEJENAK kata itu terkesan porno. Mungkin bagi masyarakat Indonesia yang baru menginjakkan kaki di negeri jiran, Malaysia. Hal ini kurasakan sendiri ketika pertama kali melihat kalimat itu pada akhir 1999 yang lalu.
Di suatu sore yang masih cerah, dengan mengendarai sepeda motor, aku bersiar-siar seputar kawasan kampus Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Sebuah kampus negeri yang menempati area seluas 1.200 hektar, yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas layaknya perguruan tinggi bonafit, masjid, hotel, lapangan golf, kawasan perkemahan dan rekreasi, stadion, dan juga belasan perkampungan mahasiswa sehingga semua mahasiswa baru akan mendapat hostel yang ditentukan di dalam kampusnya.
Di satu kawasan yang tak jauh dengan bangunan Puskes kampus, berdiri dua blok bangunan tempat penginapan sederhana atau guest house. Disitulah berdiri dua buah blok bangunan yang tidak begitu tinggi seperti hostel para mahasiswanya. Blok pertama dikhususkan bagi tamu yang tidak membawa keluarga dan blok kedua disediakan khusus bagi mereka yang sudah berkeluarga karena dilengkapi dengan dapur.
Didepan bangunan blok kedua, terpampang papan tanda yang bertuliskan kalimat “Rumah Kelamin”. Melihat tulisan itu aku sedikit heran. Sepintas aku berfikiran negatif koq bisa di dalam kampus megah di negara Islam ada rumah mesum segala. Ahh… tak mungkinlah, batinku. Dugaan itu kutepis jauh-jauh karena kuyakin suatu yang mustahil dalam kampus ternama seperti UKM ada tempat khusus untuk berseronok.
Sebelum azan magrib, aku terus kembali ke asrama tempat mahasiswa baru menginap. Malam itu, aku kepikiran dengan rumah kelamin. Mau bertanya kepada dua roomate-ku, Zamri dan Asri yang kebetulan mereka orang Melayu tapi malu rasanya. Sudahlah toh kapan-kapan aku akan tau juga, gumamku dalam hati.
**
Keesokan harinya, aku datang ke bazar buku murah di dataran kampus UKM. Disitu terdapat belasan gerai buku yang menjajakan berbagai jenis buku dengan harga miring karena diskaun antara 50-70 persen. Suasana bazaar cukup ramai. Mahasiswa menyemut di semua gerai sambil memelototi judul buku yang menarik.
Karena budget terbatas, maka aku hanya bisa membeli kamus bahasa Melayu terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, sebuah lembaga pemerintah yang didirikan pada tahun 1956 yakni setahun sebelum Malaysia merdeka. Lembaga DBP didirikan untuk memartabatkan bahasa Melayu yang menjadi pusat kajian dan penyelidikan ilmu pengetahuan alam Melayu khususnya dalam bidang kesusastraan.
Seperti mahasiswa asing lainnya, jelas aku belum terbiasa dengan bahasa dan dialek masyarakat setempat, walaupun bahasa Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan asal usul yaitu dari bahasa Aceh. Demikian dikatakan oleh (alm) Prof. Dr. Nurcholish Madjid dalam sebuah kesempatan menyampaikan pidatonya pada satu seri seminar antar bangsa di kampus UKM.
Negara serumpun yang asal usul bahasanya sama ini, memiliki kosa kata yang bunyi sebutannya sama tetapi amat jauh berbeda dari sisi arti. Misalnya kata “jimat” dan "jemput" yang pernah juga kutulis dalam Buletin KJRI pada tahun 2007.
**