Lihat ke Halaman Asli

thrio haryanto

Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Juni

Diperbarui: 5 Desember 2019   10:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: pixabay.com

Namaku Juni. Ya, sependek itu namaku. Dan aku lahir di Bulan Agustus. Ayahku adalah penggemar puisi dan prosa Sapardi Djoko Damono. Itulah kenapa ayah turut terpikat dengan hujan dan Bulan Juni. Jadi, kau tak perlu lagi bertanya mengapa namaku Juni padahal aku lahir di Bulan Agustus. Tapi nama adalah doa, kata banyak orang. Kecuali namaku.

"Namamu juga doa, Nak," ucap ayah usai menyeruput kopi hitam kesukaannya.

Oh iya, Ayah adalah penggemar kopi. Dia selalu menyeduh sendiri kopinya. Tak pernah memercayakan kepada siapa pun untuk urusan itu kecuali kepada barista di kedai kopi langganannya. Namun, sejak kedai kopi itu membikin kopi saring sachetan, dia mulai percaya pada Ibu untuk menyeduhnya. Cukup sekali diberi contoh, Ibu langsung terampil.

Juni adalah bulan peralihan, lanjut ayah, semesta bergerak dari musim penghujan menuju kemarau. Jika hujan masih turun di bulan Juni, ia akan turun begitu tabah.

"Ah, ayah terpengaruh SDD," selorohku.

Ayah tersenyum, kemudian menyesap kopi hitamnya sekali lagi.

"Jika kau dapat mendengar hujan di bulan Juni, ayah yakin kau tak akan bertanya-tanya tentang namamu."

Aku mengernyitkan dahi.

"Hujan bulan Juni adalah sebuah pengharapan sekaligus pewanti-wanti,"

"Bukannya sebuah perpisahan?" Tanyaku, "Juni kan bulan peralihan musim, maka hujan bulan Juni adalah sebuah perpisahan."

"Betul, tapi bukan sekadar itu," kilah Ayah, "ia adalah perpisahan yang berat,"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline