Bagi banyak orang, menjadi sopir truk tidak pantas dimasukkan dalam daftar cita-cita. Tapi, tidak bagiku. Sejak kecil, aku sudah bercita-cita menjadi sopir truk. Sialnya, karena cita-citaku itu, hubunganku dengan Miarsih terpaksa kandas. Ayahnya tak setuju.
Bukan hanya ayah Miarsih, ayahku pun sebenarnya tidak setuju. Namun aku bergeming. Bagiku, tak ada bedanya menjadi sopir truk dengan pilot. Beda kendaraan saja. Lagipula, yang namanya cita-cita harus diwujudkan. Karena, untuk itulah ia ada. Cita-cita yang sekadar diucapkan hanyalah angan-angan belaka. Aku tak suka berangan-angan.
Maka, jadilah aku sopir truk dengan jam ngaspal yang panjang. Sebutlah jalur Pantura dan Lintas Sumatera, entah sudah berapa kali kujelajahi dalam rentang dua puluh tahun sepanjang karirku.
Suatu ketika aku pernah datang kembali ke rumah Miarsih untuk melamarnya. Tapi, sekali lagi, ayahnya menolak. Kamu hanya sopir truk, katanya.
Sebagai lelaki yang kenyang menghadapi tantangan di jalan, aku bisa tenang mendapat hinaan macam itu. Tapi, sungguh, aku tak sanggup melihat wajah sedih Miarsih. Aku melihat matanya berlinang karena tak berdaya melawan kehendak ayahnya. Saat itulah aku tahu bahwa Miarsih benar-benar mencintaiku.
Beberapa bulan kemudian, kudengar Miarsih dikawinkan dengan seorang polisi. Ya, aku bilang dikawinkan, karena bukan atas kehendak hati Miarsih. Dia masih mengharapkanku seperti aku juga masih mengharapkannya.
Namun, jika kau mengenal Miarsih, kau pasti sepakat denganku: Miarsih pantas kawin dengan polisi yang, kata orang, tampan itu. Mereka adalah pasangan yang serasi. Miarsih adalah gadis yang cantik, pintar pula memasak. Dan polisi itu, kata orang, gagah dan tampan.
Masalahnya, perkawinan bukan soal keserasian wajah. Perkawinan adalah soal ketulusan hati. Bagaimana bisa rumah tangga berjalan lempeng jika di antaranya ada hati yang tak lapang?
Maka, jangan kau sangka, setelah Miarsih kawin, aku akan melupakannya. Tidak. Tidak sekali pun. Semangat hidupku adalah semangat Miarsih. Tak ada alasan bagiku untuk berhenti mengharapkannya. Sampai kapan pun. Dan selama itu pula, aku akan tetap memelihara harapan itu. Tolong kau catat, yang kupelihara ini bukanlah angan-angan, tetapi harapan. Aku tak suka berangan-angan.
Harapan itu kukuh kutanam di dalam hati, menemani sepanjang perjalanan hidupku. Meski seribu perempuan merajuk, mereka tak akan kusambut. Hatiku hanya untuk Miarsih. Sampai kini.
Hidup melajang tak membuatku kurang. Bahkan, berlebih. Upah sebagai sopir truk kusisihkan sebagian untuk sepetak dua petak tanah sawah. Dan ketika sawahku sudah berpetak-petak, aku menjualnya. Menukarnya dengan dua buah truk. Dari dua truk itulah bisnisku bermula. Sebuah usaha di bidang logistik. Sekarang, bisnisku berkembang pesat dengan lima belas truk di bawah bendera sebuah CV yang kuberi nama CV Kutunggu Jandamu.