Lihat ke Halaman Asli

thrio haryanto

Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Maskumambang Srimulat

Diperbarui: 7 Januari 2019   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pentas Kelompok Srimulat di Taman Ria Remaja Senayan (Koleksi Yayasan Srimulat)

Dalam filosofi Jawa, segala sesuatu yang hidup melalui sebelas tahapan. Mulai dari maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, Asmaradhana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, hingga pocung. Mulai dari dalam kandungan hingga kematian atau menjadi jenazah. Tak terkecuali kelompok komedi Srimulat.

Dan inilah fase Maskumambang Srimulat. Periode ini dimulai jauh-jauh hari sebelum kelahiran kelompok komedi ini, yaitu dari masa kecil dua tokoh pendirinya, R.A. Sri Mulat dan Teguh Slamet Rahardjo.

Raden Ajeng Sri Mulat (kelak setelah menikah gelar itu berubah menjadi Raden Ayu) adalah putri seorang wedana yang memimpin kawedanan Bekonang, sebuah wilayah yang berada di bawah Karisidenan Surakarta. Sejak usia empat tahun dia dititipkan kepada kakak ayahnya menyusul wafatnya sang Ibu. Raden Mas Tjitrosoma, ayahnya, waktu itu belum menjadi Wedana.

Oleh pakdhenya, Sri Mulat disekolahkan ke Hollands Inlandse School. Memasuki kelas empat, bocah perempuan itu dijemput ayahnya yang kala itu baru diangkat menjadi Wedana.

Di kota kawedanan, Sri Mulat sempat melanjutkan sekolah di Koningin Emma School (KES) sebelum, kemudian, dipaksa berhenti oleh ibu tirinya, RA Surenti. Katanya, seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, percuma. Toh, hidupnya hanya akan berakhir di dapur, sumur, dan kasur.

Hal itu keruan membuat hati Sri Mulat masygul. Namun apa daya?

Tak diijinkan bersekolah formal tidak menghalangi Sri Mulat untuk tetap belajar. Maka, dengan segala keterbatasan, dia menangguk ilmu bahasa melayu, termasuk baca tulisnya, kepada seorang opaspos (pegawai pengantar pos) bernama Bei Sokasanta yang hampir tiap hari datang ke Dalem Kawedanan. Sri Mulat kecil juga mengasah bakat seninya dari para abdi dalem.

Dia belajar menari, menembang dan membatik. Bakat seninya yang baik mampu menangkap pelajaran dengan baik pula. Sampai-sampai, ibu tirinya kawatir kalau anaknya itu akan menjadi sinden. Kekhawatirannya kemudian menjadi alasan kuat untuk melarang putri tirinya melanjutkan belajar seni. "Kamu itu putri priayi, ndak pantas menjadi sinden atau penari."

Pada usia lima belas, perempuan kelahiran Desa Botokan, Klaten, 7 Mei 1908 itu dinikahkan dengan RM Hardjowinoto. Sayang, pernikahan itu hanya berlangsung tiga tahun. Suaminya meninggal hanya berselangang tiga bulan setelah kematian putra semara wayangnya. Akibatnya, Sri Mulat kembali ke Dalem Kawedanan.

Kembali hidup seatap dengan ibu tirinya yang kian hari kian galak membuat Sri Mulat semakin tertekan. Dia tidak tahu betul apa kesalahannya sehingga Ibu sering menjadikannya sebagai pelampiasan kemarahan. Belakangan, dia baru tahu, semua itu disebabkan oleh perilaku ayahnya yang diam-diam mempunyai istri lagi. Sebagai seorang wanita, Sri Mulat dapat merasakan kegeraman Ibunya. Batinnya sebagai seorang wanita turut tidak terima atas perilaku ayahnya tersebut.

Tak tahan menjadi pelampiasan kemarahan Ibu, pengekangan untuk belajar seni, serta perilaku feodal yang dipertontonkan ayahnya membuat Sri Mulat berontak. Dia tak tahan atas itu semua. Hingga pada suatu hari, Sri Mulat mengambil sebuah keputusan besar: Minggat! meskipun itu berarti harus menanggalkan gelar raden ajeng. Apalah arti sebuah gelar jika jiwanya lemah menggelepar? Untuk apa hidup bagaikan burung di dalam sangkar emas?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline