Di kegelapan malam, sang kecoa terjaga,
Takdirnya hina, dicemooh oleh banyak mata.
Dia diinjak, disumpahi, tapi tak peduli,
Menghadapi dunia dengan tegar, tanpa merengek.Racun diciptakan untuk memusnahkannya,
Namun sang kecoa takkan padam, ia tetap bersinar.
Mereka tertawa saat ia lemah dan tak berdaya,
Mereka jadi pahlawan saat ia tenggelam dalam duka.
Di balik sinar mentari, di kebun yang berbunga,
Terbanglah si kupu-kupu, anggun dalam tariannya.
Lagu yang merdu tiap sayapnya hembuskan,
Kehadirannya seperti impian yang dinantikan.
Namun terkutuklah manusia yang membunuh keindahan itu,
Menghentikan lagu yang belum selesai, tak berkesudahan.
Munafik, mereka menghina sang kecoa yang berjuang,
Tapi tak sadar, mereka yang membunuh keindahan itu sendiri.
Dalam refleksi kemunafikan manusia, terlihatlah jelas,
Sang kecoa dan kupu-kupu, dua takdir yang berbeda.
Satu dihina, satu dihormati, tapi keduanya hidup,
Saling melengkapi dalam tarian alam yang indah.
Namun sang kecoa takkan padam, ia tetap bersinar.
Mereka tertawa saat ia lemah dan tak berdaya,
Mereka jadi pahlawan saat ia tenggelam dalam duka.
Terbanglah si kupu-kupu, anggun dalam tariannya.
Lagu yang merdu tiap sayapnya hembuskan,
Kehadirannya seperti impian yang dinantikan.
Menghentikan lagu yang belum selesai, tak berkesudahan.
Munafik, mereka menghina sang kecoa yang berjuang,
Tapi tak sadar, mereka yang membunuh keindahan itu sendiri.
Sang kecoa dan kupu-kupu, dua takdir yang berbeda.
Satu dihina, satu dihormati, tapi keduanya hidup,
Saling melengkapi dalam tarian alam yang indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H