Lihat ke Halaman Asli

Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Audaces Fortuna Iuvat

Menganalisis Makin Maraknya Paslon Tunggal dalam Pilkada 2024

Diperbarui: 7 Oktober 2024   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Paslon Tunggal. (Sumber: KOMPAS/CHY)

Pilkada serentak 2024 sedang bergerak menuju sebuah titik krisis yang jarang dibicarakan, namun sangat mengkhawatirkan, yakni maraknya calon tunggal. Hingga awal september 2024, tercatat 43 daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. 

Hal ini berarti, masyarakat di daerah tersebut bukan dihadapkan pada pilihan yang sehat, tetapi dipaksa memilih antara calon tunggal atau kotak kosong. 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa pendaftaran untuk 43 daerah tersebut dengan harapan partai-partai politik berani mengusung calon baru. Jika tidak, sejarah akan mencatat Pilkada 2024 sebagai pemilihan dengan jumlah calon tunggal terbanyak sejak era reformasi.

Pertanyaannya, di mana letak demokrasi kita ketika proses elektoral semakin mengkerucut pada fenomena tanpa pilihan? Apakah partai-partai politik telah menyerah pada fungsi utamanya, yaitu sebagai wadah penyeleksi pemimpin yang kompetitif? 

Fenomena ini lebih dari sekadar anomali elektoral; ini adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang keliru dengan cara kita menjalankan demokrasi. 

Artikel ini mencoba untuk mengupas dengan kritis apa yang sebenarnya terjadi di balik maraknya calon tunggal, dan apa dampaknya bagi demokrasi di tingkat lokal maupun nasional.

Salah satu indikator utama dari demokrasi yang sehat adalah adanya pilihan yang jelas dan kompetitif bagi pemilih. Namun, ketika Pilkada hanya menyisakan satu pasangan calon, kita harus mempertanyakan apakah masyarakat benar-benar memiliki pilihan. 

Dalam banyak kasus, calon tunggal adalah petahana atau figur dominan di daerah tersebut, yang karena kekuatannya secara politik, ekonomi, dan sosial, membuat calon-calon lain mundur atau enggan maju.

Beberapa contohnya sangat mencolok. Papua Barat, sebuah provinsi besar dengan dinamika politik yang unik, hanya memiliki satu pasangan calon. Di tingkat kota, daerah-daerah strategis seperti Surabaya, Pangkal Pinang, hingga Samarinda juga menyisakan calon tunggal. 

Untuk di tingkat kabupaten, daerah-daerah seperti Serdang Bedagai (Sumatera Utara) hingga Muna Barat (Sulawesi Tenggara) memiliki situasi serupa. Dalam kasus-kasus ini, dominasi politik lokal menjadi sangat kentara. Partai-partai politik besar lebih memilih berkoalisi untuk mendukung satu calon, daripada bertarung di arena demokrasi yang sesungguhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline