Lihat ke Halaman Asli

Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Audaces Fortuna Iuvat

Politik Identitas dan Wacana Kebangsaan Lainnya

Diperbarui: 20 Februari 2022   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memahami Kembali Makna dari Politik Identitas

Hari ini telah memasuki bulan kedua di tahun 2022. Perbincangan politik terkait kandidat yang akan bersaing di pemilu 2024 mulai santer diperbincangkan di hadapan publik. Radio, Koran, Majalah, Televisi dan berita elektronik mulai dibanjiri tentang opini dari berbagai sumber terkait siapa saja pasangan calon Presiden dan Wakil presiden yang akan ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan datang.

Terdengar nama Prabowo Subianto yang akan kembali dicalonkan oleh Partai Gerindra, Puan Maharani yang akan dicalonkan oleh PDIP, Agus Harimurti Yudhoyono dari Partai Demokrat, ataupun 3 dari 7 kandidat dengan elektabilitas tertinggi di kancah nasional, yakni Gubernur Jakarta Anies Baswedan, Menteri BUMN Erick Thohir maupun Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, 3 sosok non-partai yang hadir dalam pelawaan ketua dari partai PAN, Dzulkifli Hasan yang dimaknai sebagai kandidasi PAN dalam kontestasi Pemilu 2024 nanti.

kemerdekaan RI yang akan memasuki 77 tahun dan Reformasi Politik yang melahirkan pemerintahan demokrasi menginjak 24  tahun masih dipenuhi dengan kritik dan polemik. Memang, memaknai kematangan demokrasi sebuah Negara tidak sama dengan membandingkan kematangan seorang anak, yang pada usia 24 tahun umumnya telah menginjak usia dewasa dan siap berdiri sendiri

Kompleksitas dari Organisasi bernama Negara dengan sejumlah permasalahan yang seringkali berbenturan mengakibatkan perlunya ada perbaikan yag konsisten di berbagai lini bernegara. Mulai dari tata kelola, pengawasan aparatur sipil Negara, masalah administrasi dan konflik kepentingan antar pejabat publik seringkali mewarnai diskursus yang dihadirkan di tayangan televisi local ataupun nasional

Berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019 telah cukup ramai memperbincangakan tentang Politik Identitas. Namun, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan politik identitas ini?

Dalam buku Routledge Handbook of ecocultural Identity, Tema Milstein dan  Jose Castro-Sotomayor mendefinisikan bahwa "Politik identitas adalah metode pendekatan politik dimana orang-orang dari jenis kelamin, agama, ras, latar belakang sosial, kelas sosial, lingkungan, atau faktor identifikasi lainnya, mengembangkan agenda politik yang didasarkan pada identitas ini.". Secara sederhana, hal ini merupakan salah satu propaganda yang dapat digunakan dalam dunia politik dengan memanfaatkan identitas deterministic, atau telah ditentukan dan diluar keinginan pribadi dari seseorang tersebut, dengan maksud untuk mengakomodir kepentingan politik dari sejumlah orang.

Tak diragukan lagi, sebagai konsekuensi dari negara Demokrasi, Pemilihan Umum atau yang lebih sering disebut sebagai Pemilu di Indonesia merupakan tata cara untuk menentukan pimpinan secara consensus. Dimana kepemimpinan lahir dari suara mayoritas, dari hasil Pemilihan Umum.

Namun, sebagai Negara dengan ribuan pulau, ragam kebudayaan, varietas suku di dalamnya dan heterogenitas masyaakat adat dengan segala budaya dan keyakinannya, adalah sebuah tanda dimana kepemimpinan nasionalnya perlu diampu oleh orang-orang yang secara toleran dapat memahami perbedaan-perbedaaan ini.

Kepentingan politik yang memanfaatkan perbedaan lewat menyinggung hal-hal lahiriah yang tak ditentukan dan tentu saja tak dapat dipilih oleh orang tersebut merupakan hal yang secara moral tidak dibenarkan, karna sangat menyinggung dan menyakitkan. Bahkan untuk hal sederhana seperti halnya minat pada sebuah music saja dapat menimbulkan baku hantam, apalagi sebuah identitas lahiriah.

Politik identitas seperti halnya propaganda politik lainnya umumnya digunakan sebagai narasi politik untuk memenangkan dominasi di tengah dukungan public. Namun hal ini tentu saja akan merambat jadi masalah identitas dan kesukuan, seperti halnya apa yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline