Lihat ke Halaman Asli

Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Audaces Fortuna Iuvat

Mahatma Gandhi: Perjuangan Raga dan Jiwa yang Agung

Diperbarui: 10 November 2020   03:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta, disitu ada kehidupan. Berbeda dengan kebencian yang membawa kepada kemusnahan.

-- Mahatma Gandhi

Mahatma Gandhi merupakan seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India yang dikenal dengan prinsip Ahimsa atau politik anti kekerasannya. Terlahir dengan nama Mohandas Karamchand Gandhi di India, pada tanggal 2 Oktober 1869 di kalangan keluarga Hindu yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan di masa penjajan Inggris di India. Beberapa dari anggota keluarganya bekerja pada pihak pemerintah. Namun berbagai pengalaman hidupnya yang bersentuhan dengan penjajah menjadikan Gandhi sebagai salah seorang aktivis penting dan tokoh yang mempopulerkan perlawanan sipil non-kekerasan. Ia mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai yang bersumber dari prinsip-prinsip perjuangan yang ia ringkas dalam Ahimsa, Swadeshi dan Satyagraha.

Saat remaja, Gandhi pindah ke Inggris untuk mempelajari hukum. Setelah lulus dalam Kuliah Hukum, kemudian ia terjun menjadi seorang pengacara di Afrika Selatan, yang saat itu masih merupakan tanah protektorat Inggris. Disana ia menemukan berbagai persoalan rasial untuk pertama kalinya. Diskriminasi ras yang ada terundang-undangkan dalam kebijakan  apartheid. Suatu ketika, dalam perjalanan di atas kereta api menuju Pretoria, Gandhi diminta meninggalkan kursi penumpang kelas satu yang ditumpanginya meskipun ia telah membayar tiketnya. Kondektur kereta yang berkulit putih itu dengan sinis mengatakan bahwa selain orang kulit putih tidak diperkenankan menempati kursi kelas utama. Tetapi Gandhi menolak dan bersikeras untuk tetap menempati kursi yang telah dibayarnya itu. Karena penolakan ini, sang kondektur menurunkannya di sebuah stasiun kecil. Dan kejadian ini menjadi awal mula yang membuat Gandhi memiliki itikad untuk memperjuangkan keadilan.

Afrika Selatan adalah negara yang membuat Gandhi mulai mengembangkan gagasan yang ia sebut sebagai Ahimsa atau anti-kekerasan. Ia mengajarkan orang-orang India yang hidup di sana untuk menerapkan Ahimsa dalam mengatasi berbagai ketidakadilan yang mereka alami. Metode yang disebut juga sebagai perlawanan pasif atau anti-bekerjasama dengan mereka yang melakukan ketidak-adilan. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa dengan menolak bekerjasama orang-orang yang melakukan ketidakadilan akan membuat pelaku akhirnya akan menyadari kesalahan yang diperbuatnya dan kemudian menghentikan sikap tidak adilnya

Sekembalinya di India, ia memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang diskriminatif tersebut. Ia membantu proses kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Gandhi pun membentuk sebuah gerakan non-kekerasan. Hal ini kemudian memberikan inspirasi bagi rakyat di negara koloni lainnya untuk berjuang mendapatkan kemerdekaannya dan memecah Imperium Britania, menjadi bentuk Persemakmuran, dimana rakyat dari berbagai agama dan suku yang berbeda yang hidup di India kala itu yakin bahwa India perlu dipecah menjadi beberapa negara agar kelompok yang berbeda dapat mempunyai teritori atas negara mereka sendiri. Mahatma Gandhi adalah seorang Hindu, namun dia lebih menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen. Banyak orang yang ingin agar para pemeluk agama Hindu dan Islam mempunyai negara sendiri. Gandhi percaya bahwa manusia dari segala agama mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara. Saat itu India menjadi negara merdeka dan pecah menjadi dua negara, India dan Pakistan. Hal ini tidak disetujui oleh Gandhi.

Dalam Prinsip Swadesi atau yang dapat diartikan sebagai kemandirian. Sedangkan dalam istilah Soekarno, kita mengenalnya sebagai berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) oleh Mahatma Gandhi dimengerti sebagai inti atau jiwa dari swaraj atau upaya menciptakan pemerintan mandiri. Dalam arti luas ia dimaknai sebagai rasa bangga memiliki bangsa sendiri atau nasionalisme. Swadeshi semakin mendapatkan ruhnya ketika Gandhi mengatakan bahwa gerakan ini sebagai panggilan bagi para konsumen untuk menolak hasil industri yang diproduksi oleh pihak asing atau penjajah, yang hanya menghasilkan kemiskinan bagi masyarakat, mengabaikan para pekerja dan tidak mempertimbangkan dampak yang akan terjadi pada manusia serta makhluk-makhluk lainnya. Penduduk dari Negara-negara yang merupakan koloni Britania Raya mendambakan kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri.

Pencariannya tentang kebenaran ia lanjutkan dalam merancang strategi yang sesuai untuk menghadapi musuh. Ia menyebutnya sebagai Satyagraha (Penegakan Kebenaran). Gandhi berkeyakinan bahwa, dengan melihat penderitaan seseorang yang menegakkan kebenaran akan memberi pengaruh dan akan menyentuh nurani pelaku kesewenangan (musuh). Kemudian secara luas dan efektif, prinsip Satya Graha ini ia lanjutkan dalam perjuangan kemerdekaan India. Inggris tak sanggup bertahan menentang ribuan massa rakyat yang menetangnya, aksi-damai yang menuntut kemerdekaan. Seberapa kecilnya pun dampak yang dibawa oleh gerakan ini, Gandhi tetap meyakini bahwa setiap usaha dan perjuangan yang dilakukan oleh mereka yang dibimbing langsung olehnya dalam menjalankan Satyagraha ini akan membawa hasil. Di kemudian hari, prinsip ini yang sering diterjemahkan sebagai jalan yang benar atau jalan menuju kebenaran menginspirasi berbagai generasi pejuang demokrasi dan anti-rasisme dunia seperti, Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela.

Pada tanggal 30 Januari 1948, Mahatma Gandhi dibunuh seorang lelaki Hindu yang marah kepadanya, karena dalam konflik antara India dan Pakistan, Gandhi dianggap terlalu memihak kepada kalngan Muslim yang jumlahnya minoritas. Dalam perlawanan tanpa kekerasan yang dipraktekan dan dipopulerkan oleh Gandhi dalam mencapai tujuan perubahan sosial melalui proses simbolik, pemberontakan sipil, non-koperatif dalam ekonomi atau politik, atau metode lainnya, ia tidak memakai tindak kekerasan dalam upayanya untuk meraih kemerdekaan dari Inggris. Dia selalu mencontohkan bahwa kita dapat melawan ketidak adilan tanpa melakukan kekerasan.Walaupun jasadnya telah mati, namun jiwanya saat ini masih tetap hidup dan menggerakan orang-orang untuk memulai gerakan sosial yang serupa. Seperti dalam  Revolusi Mawar di Georgia dan Revolusi Jingga di Ukraina, Revolusi Jeans di Belarus, dan Revolusi Jasmin di Tunisia pun menerapkan prinsip yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline