Lihat ke Halaman Asli

Lembar Baru

Diperbarui: 21 Mei 2023   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: unsplash.com/@romiyusardi

Cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah pergi sejauh mungkin darinya. Bertemu orang-orang dan menjelajahi dunia baru. Walau kita akan sama-sama sakit, tapi itu lebih baik daripada harus menderita selamanya.

Tujuh tahun lalu ...

“Aku akan merantau ke Jakarta. Maaf karena aku sudah tidak bisa memperjuangkan cinta kita. Aku menyerah, menyerah sebab kita memang tidak ditakdirkan bersama.”

Di tengah guyuran hujan yang semakin deras malam itu, Rahmi membanting ponselnya ke tempat tidur. Ia tidak berniat membalas pesan itu.  Gadis itu menyelimuti tubuhnya rapat agar tak seorang pun mendengar tangisannya. Mengapa harus mengenal cinta jika akhirnya kenyataan harus memisahkan mereka? Ia kesal, karena harus tahu setelah semuanya terlampau jauh. Rahmi sudah berjanji untuk setia sehidup semati. Begitu juga sang lelaki.

***

Lelaki itu bernama Hafis Malik Ibrahim. Wajahnya terlihat risau. Hampir seminggu ia teringat akan kampung halaman. Ia rindu Amak-Abak[1], meski hanya bertemu tanah kuburnya saja itu sudah pasti cukup. 

 Tiba-tiba Hafis tersentak oleh Risa yang membawa baki berisi segelas kopi dan beberapa lembar roti beserta selainya. Risa, perempuan yang ia nikahi enam bulan yang lalu. Ia adalah obat dari lukanya selama ini.

 “Abang jadi mau ke Bukittinggi?” tanya Risa yang kini duduk di sebelahnya.

 “Jadi,” jawab Hafis bersemangat.  “Seminggu lagi kita berangkat. Risa jangan lupa beli oleh-oleh buat sanak saudara abang disana.”

 “Iya bang, tapi ...” ucapnya tertahan, “apa abang yakin mau menjual rumah Amak-Abak[1]?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline