[caption caption="Sumber Foto: www.monitorday.com"][/caption]
Catatan: Tulisan saya ini sudah pernah dimuat Harian REPUBLIKA - Jumat, 12 Juni 1998 Halaman : 9. Mudah-mudahan tulisan yang antara lain mengambail almarhum cendekiawan muslim Nurcholis Madjid ini, bisa diambil hikmahnya untuk kondisi sekarang.
TAK ada salahnya berandai-andai. Seandainya dua ormas terbesar di tanah air, NU dan Muhammadiyah jadi parpol, apa jadinya? Mencontoh Amerika, yang satu jadi semacam Partai Republik dan yang lain jadi Partai Demokrat. Boleh jadi, ini agak berlebihan dan tidak mungkin terjadi pada waktu dekat, apalagi dalam pemilu mendatang. Tapi itu bukan hal yang tak mungkin terjadi pada abad 21 mendatang.
Cendekiawan Muslim Dr Nurcholish Madjid, yakin kondisi itu akan terjadi saat itu. Ia memperkirakan NU dan Muhammadiyah menjadi dua kekuatan politik besar di masa mendatang, tentu dengan tak memakai bendera keagamaan lagi. Sedangkan kelompok-kelompok lain, apakah Katolik, Protestan, atau lainnya, akan menggabungkan diri kepada keduanya. Artinya, para politisi NU dan Muhammadiyah akan mendominasi dua partai tadi. Tentu saja, jajaran pengurusnya ditambah dengan politisi dari kelompok lain yang menggabungkan diri.
Pandangan Cak Nur boleh jadi benar. Fakta-fakta memperkuat pandangannya tersebut. Siapapun tak bisa memungkiri, Nahdlatul lama (NU) dan Muhammadiyah merupakan dua ormas terbesar di negeri ini. Keduanya punya pengikut yang fanatik. Keduanya punya sejarah yang sangat panjang dalam pentas politik nasional.
Dalam situasi politik seperti saat ini, tak pelak, keduanya pun menjadi sorotan. Apalagi kecenderungan yang ada, mengarah pada tumbuhnya sistem multipartai. Orang pun kembali ingat, pada sistem multipartai di masa lalu, kedua ormas tersebut sudah banyak berperan. Kala itu, NU menjadi partai sendiri, dan massa Muhammadiyah menjadi penyokong utama partai Masyumi. Kedua partai itu, memperoleh suara terbanyak, bersama dua partai lain, yakni PNI dan PKI. Dalam era Orde Baru pun, masyarakat tahu bahwa massa keduanya sangat mewarnai pentas kepartaian nasional. Tak hanya di PPP, di Golkar pun orang-orang mereka pun ada. Malah beberapa di antaranya ada yang di PDI.
Muhammadiyah dan NU memang telah menyatakan bahwa tak akan berubah menjadi partai politik. Massa NU sendiri, sebagian besar menginginkan NU punya partai sendiri, seperti diakui oleh salah satu pengurusnya Dr Said Aqil H Siradj. Bahkan, yang diusulkan massa NU ini tak hanya satu partai, ada lebih dari lima partai. PBNU berharap keinginan dari massanya akan terus mengkristal. Baru kemudian, PBNU akan memutuskan, mana yang 'diridhoi'.
Sementara, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais menyatakan Muhammadiyah belum menentukan sikap, dan masih menunggu gelombang euphoria massa (ia mengatakan sebagai banjir) mengendap terlebih dulu. Setelah itu, baru Muhammadiyah akan menentukan langkah. Untuk sementara ini, Muhammadiyah masih tetap sebagai gerakan dakwah dalam arti yang seluas-luasnya.
Banyak kalangan menilai bahwa bila pemilu yang akan datang nanti berlangsung jurdil, maka NU dan Muhammadiyah lah yang akan keluar sebagai pemenang. Apalagi bila memakai sistem distrik. Pandangan seperti itu dikemukakan pengamat politik dari LIPI Dr Mochtar Pabotinggi dan pengamat politik dari AS Dr William R Liddle. Persoalannya, apakah kelompok lain mau menerima begitu saja saat dua ormas Islam tersebut menjadi pemimpin di pentas politik nasional.
Hal itu bisa dieliminir ketika Islam yang jadi basis kedua partai mewujud sebagai national concern. Usaha ke arah itu bukan tidak pernah dilakukan. Bila diamati, era 90-an, banyak tokoh Islam berusaha untuk menjadikan nilai-nilai Islam sebagai national concern. Hasilnya pun sudah nampak. ''Islam tidak lagi menjadi partisan concern,'' kata Cak Nur.