Lihat ke Halaman Asli

Thomson Cyrus

TERVERIFIKASI

Wiraswasta, blogger, vlogger

Membedah Strategi PDIP Membangun Rezim PDIP yang Kuat

Diperbarui: 14 September 2020   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : jateng.tribunnews.com

Seperti tulisan saya sebelumnya, mulai tahun 1999 hingga 2019 saya adalah pemilih setia PDIP dan bisa diihat berbagai tulisan saya, termasuk di kompasiana ini. 2014-2024 PDIP bersama koalisinya memimpin bangsa ini selama 10 tahun di bawah Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan Jokowi-M.Amin.

Dalam kedua moment itu, saya pendukung militant terutama di dunia cyber. Dan dukungan saya buat Jokowi-M. Amin masih terus berlaku hingga tahun 2024 nanti, tentu dengan berbagai masukan dan kritikan yang membangun agar Jokowi meninggalkan Legacy bagi bangsa ini.

Sejauh ini, Jokowi masih yang terbaik dalam soal membangun negeri ini, menurut hemat saya, dengan waktu yang relative singkat hanya sekitar 6 tahun sudah banyak yang bisa kita lihat hasilnya diberbagai belahan nusantara mulai dari ujung Aceh hingga ujung Papua, dibangun semua secara adil tanpa pandang bulu.

Meski Jokowi tulus dan berhasil menorehkan berbagai pembangunan, tetapi di sisi lain, era Jokowi kita merasakan semakin runcingnya isu-isu SARA dan radikalisme. Menurut pengamatan saya, ini kegagalan di sekitar Jokowi berkomunikasi terhadap anak bangsa ini, sehingga banyak mengalami luka perasaan.

Jasmerah, Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Benar! Tetapi sejarah masa lalu itu bukan untuk ditraumakan, tetapi kita bisa banyak belajar dari sana. Isu-isu Pancasilais, Radikalis, PKI, Orde Baru menjadi isu-isu yang terus meruncing di era Jokowi. Mengapa?

Cara-cara berkomunikasi di sekitar istana, yang tentu juga diisi oleh orang-orang PDIP dan simpatisannya gagal membawa narasi yang mempersatukan bangsa dan negara ini.

Narasi-narasi yang dibawah oleh rezim PDIP gagal memberi dukungan penuh kepada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Jokowi.

Sebutlah misalnya saat membentuk Lembaga yang namanya BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), tagar Saya Pancasila, waktu itu membuat dinamika yang cukup pro dan kontra, yang pada akhirnya sesame anak bangsa saling curiga dan bahkan bisa saling men-justifikasi bahwa saya Pancasila dan kamu tidak. Narasi-narasi begini justru gagal memberikan pemahaman arti penting Pancasila itu sendiri.

Selain narasi yang dibawakan dapat memecah belah, pola komunikasi yang dilakukan ke pihak oposisi atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah juga gagal. Tidak adanya niat untuk mengajak komunikasi pihak yang berlawanan dengan pemerintah adalah juga bibit-bibit kebencian yang semakin menyemai dan menyebar.

Seingat saya, baru sekali Jokowi berkomunikasi dengan PKS sebagai partai politik. Demikian juga dengan gerakan 212, hampir tak ada ruang komunikasi bagi mereka yang dilakukan oleh lingkungan Istana secara terbuka apalagi PDIP sebagai pemimpin koalisi di pemerintahan Jokowi. 

Gap-gap seperti ini memicu kecurigaan dan tentu memperruncing ketidak-akuran,padahal dalam soal bernegara, oposisi sekalipun, harus terus diajak berkomunikasi agar terjalin kesepahaman membangun bangsa dan Negara ini, meski dalam posisi yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline