Lihat ke Halaman Asli

Thomson Cyrus

TERVERIFIKASI

Wiraswasta, blogger, vlogger

J-J

Diperbarui: 31 Oktober 2015   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita melihat data-data, entah itu tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat krimininalitas, dan aspek sosial lainnya, dan kita melihat hidup sehari hari, antara dunia nyata dan dunia maya. Manusia saat ini adalah manusia-manusia yang tidak berpengharapan. Manusia yang tak berpengharapan adalah manusia-manusia yang melihat bahwa hari esok adalah hari yang harus diwaspadai, bahwa hari esok adalah hari penuh kekuatiran. Meski dirinya saat ini tidak kekurangan atau bahkan hidupnya masih berlimpah, tetapi tetap saja masih kuatir akan hari esok. Itu sebabnya manusia saat ini, cenderung untuk mengambil sebanyak-banyaknya untuk dirinya dan keluarganya, sekalipun dia tahu cara itu salah, tidak halal bahkan menggunakan segala jenis cara.

Jika kita mengamati Indonesia saat ini, yang tergambar dalam pikiran kita adalah tentang sebuah negara yang gagal. Gagal mengelola kekayaan yang dia miliki, gagal juga membentuk manusia yang seutuhnya, manusia yang sejahtera, sehat jasmani dan rohani, sebagaimana tujuan bernegara yang diidam-idamkan oleh pendiri bangsa ini.

Di satu sisi, kita hanya menghitung permasalahan yang terjadi, kita mem-blow up kelemahan-kelemahan yang kita miliki, tanpa pernah mensyukuri potensi dan kekayaan besar yang di miliki bangsa ini. Yang kita tonjolkan dan pertontonkan adalah kesusahan, kejahatan, kemiskinan dan beribu masalah yang kita hadapi. Kita sebagai sebuah bangsa, jarang meng-eksplore, kelebihan, kekayaan yang kita miliki. Kita hanya terlena dengan masalah-masalah yang kita miliki. Kita lupa, sebagai sebuah bangsa yang merdeka, lupa mengisi dengan sebuah optimisme yang besar. Padahal kita memiliki potensi itu.

Sebagai sebuah bangsa, kita lupa untuk saling membangun satu sama lain. Yang kita galakkan adalah semangat saling menghujat, saling mengejek, saling memarahi, saling memusuhi, padahal kita adalah satu Indonesia.

Kita terlalu gampang menunjuk hidung seseorang sebagai pihak yang bersalah, yang harus bertanggung jawab terhadap apa yang dia tidak lakukan. Semisal, betapa gampangnya kita menyalahkan pemimpin kita saat ini akan kegagalan-kegagalan yang dirasakan oleh bangsa ini, padahal belum tentu dia penyebab masalahnya. Kita terlalu cepat menyalahkan orang lain sebagai pihak yang bertanggung jawab, padahal bisa saja kita penyebabnya.

Indonesia saat ini adalah Indonesia yang pemarah. Indonesia saat ini adalah Indonesia yang gampang menyerah.

Seberapa besarpun masalah yang dihadapi bangsa ini sekarang, kita tahu, pasti ada jalan keluar. "Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai, Mat 6: 25a"

Kita sepakat, Indonesia ada, sebagai bangsa yang mengakui adanya Tuhan. Dan Tuhan telah memberikan yang terbaik untuk Indonesia Raya, Nusantara indah, terbentang kekayaan yang luar biasa, mulai dari Sabang sampai Merauke. Permasalahannya adalah kita tidak pernah bersyukur akan kekayaan yang melimpah ini.

Kita menyalahgunakan gambut, tempat menampung air, dikeringkan...ya terbakar...hasilnya kesusahan. Kita menyalahgunakan hutan, di babat habis, hujan turun, longsor dan banjir...ya bencana...hasilnya malapetaka. Kita menyalahgunakan sumber daya-sumber daya yang Tuhan telah anugerahkan untuk Indonesia, hasilnya...ya kesusahan.

Indonesia ini, telah diciptakan istimewa, kita yang merusak. Persoalannya, setelah kita rusak, kita tidak siap bertanggung jawab. Kita lari dari tanggung jawab. Tuhan simpel saja menagih kesetiaan kita. Tuhan telah menyediakan semuanya, maukah kita menggunakannya dengan benar? Maukah kita menggunakannya untuk kesejahteraan kita semua? Atau hanya untuk segelintir orang saja.

Kita tak pernah berusaha untuk saling mencintai, satu sama lain. Kita saling adu kuat untuk saling menyingkirkan. Kita tidak pernah berusaha untuk bersama sama, saling mencintai, saling berbagi, saling memberi. Kita lebih sering, saling merampas, yang kaya memperkosa hak-hak si miskin. Yang kuat menindas si lemah. Kita jarang merasakan si kuat menuntun si lemah, si kaya membagi si miskin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline