Bersama Kuli Membangun Negeri!
Kita semua tentu sudah tahu dan paham, bahwa tenaga kerja konstruksi atau tukang bangunan yang rata-rata didominasi oleh suku bangsa Jawa ini tidak perlu diragukan lagi akan kehandalan, ketangguhan, kerajinan, dan kualitas pekerjaannya. Tidak mengherankan jika kemudian para pekerja bangunan ini banyak dipercaya oleh berbagai pihak untuk mengerjakan berbagai proyek konstruksi yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah.
Kepopuleran mereka sebagai pekerja konstruksi di kemudian hari tidak hanya berhenti pada urusan kepercayaan dari orang-orang yang membutuhkan jasa mereka dalam mengerjakan suatu proyek konstruksi. Namun, para tukang bangunan atau yang lebih akrab disapa oleh masyarakat Indonesia sebagai kuli bangunan ini, kemudian semakin populer berkat konten-konten meme di media sosial yang menggambarkan keahlian serta kebiasaan mereka dalam bekerja.
Berbagai konten meme yang menggelitik dan renyah namun tidak merendahkan martabat mereka sebagai masyarakat golongan kelas bawah ini, pada akhirnya berhasil mengundang gelak tawa dan refleksi bagi kita semua, akan betapa berjasa serta bergantungnya kita terhadap kemampuan dan keahlian mereka, yang tentu saja telah sedikit banyak berkontribusi terhadap pembangunan di berbagai daerah di Indonesia yang berdampak pada tumbuhnya perekonomian.
Namun, dalam hal seperti ini kita acap kali lupa untuk mengetahui bagaimanakah perjalanan sejarah para kuli bangunan ini yang pada akhirnya menjelma tidak hanya sebagai kuli bangunan yang terampil dan ahli, namun juga menjadi sensasi di ruang digital kita, utamanya karena konten meme. Pada artikel kali ini, penulis akan mengajak para pembaca untuk semakin mengetahui dan memahami sejarah dari para kuli bangunan yang didominasi oleh suku bangsa Jawa ini.
Menurut Gandhi (2013), istilah kuli (quli) berasal dari bahasa Tamil, yang berarti upah. Dalam istilah yang lebih luas, kata kuli sering dihubungkan dan dikonstruksikan dengan para pekerja yang diupah. Namun, dalam sejarahnya para pekerja yang mendapatkan upah dan disebut "kuli" ini kebanyakan berprofesi sebagai "pekerja kasar" yang mengerjakan berbagai "pekerjaan kasar," seperti porter koper di stasiun atau yang populer sebagai pekerja konstruksi.
Dalam perkembangannya, kata kuli lebih banyak mengandung makna yang peyoratif (merendahkan) ketimbang konstruktif. Sebab, merujuk pada sejarahnya kata kuli memang dikonstruksi dan dipakai untuk menyebut para pekerja yang tidak memiliki kecakapan atau keterampilan (unskilled) tertentu yang dapat dipertukarkan dengan upaah yang layak, seperti pejabat publik, akuntan, pengajar, atau pengerajin.
Pada babak selanjutnya, kata kuli semakin populer beriringan dengan meledaknya proses kolonialisme, utama yang dipantik oleh Kerajaan Inggris Raya yang memiliki begitu banyak dan luasnya daerah koloni di seluruh dunia. Dari sini, kebutuhan pemerintah kolonial Inggris Raya terhadap pekerja kasar murah pun semakin meningkat permintaannya, terlebih setelah munculnya berbagai proyek infrastruktur jalan, kereta api, dan perkebunan tebu (gula) (Britannica, n.d).
Sebelum kata kuli populer digunakan untuk menyebut para pekerja kasar kurang terampil ini, mereka (kuli) lebih akrab dipahami sebagai budak yang diambil dari tanah jajahan mereka masing-masing yang kemudian dipekerjakan di banyak tempat sesuai dengan daerah koloni yang dikuasai oleh Inggris Raya atau negara-negara koloni lainnya, seperti Portugal, Belanda, Perancis, Spanyol, bahkan Amerika Serikat, negara demokrasi namun terkenal dengan sejarah perbudakannya itu.
Saat memasuki tahun 1830-an, muncul gerakan sosial dan kemanusiaan di masyarakat Eropa dan Amerika Serikat yang mendesak serta menyuarakan untuk dihapuskannya perbudakan dari sistem sosio-politik masyarakat (Gandhi, 2013). Di sini, popularitas pekerja kasar pun mulai mengalami pergeseran, dari yang tadinya dipahami sebagai budak kemudian berubah menjadi kuli dan kita kenal istilahnya sampai dengan saat ini untuk menyebut para pekerja kasar.