Budaya makan roti dan istilah "makan enak-enak" di kalangan masyarakat Yogyakarta dimulai dari sekelompok kecil abdi dalem bernama Encik.
Dalam sejarahnya Yogyakarta memiliki catatan penting mengenai adanya proses akulturasi dan asimilasi budaya yang begitu kental. Proses akulturasi dan asimilasi tersebut salah satunya banyak terjadi saat masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Yogyakarta.
Banyak catatan sejarah menuliskan jika persentuhan antara budaya Eropa dengan Keraton pada masa-masa itu banyak melahirkan produk-produk budaya baru, salah satunya adalah kuliner.
Salah satu catatan sejarah kuliner dari Pigeaud dalam Wijanarko (2021), menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono VI pada abad ke-19 telah melakukan suatu langkah gastrodiplomasi dengan pemerintah Hindia Belanda, yakni dengan mengadakan pesta jamuan makan yang mengadopsi tata krama makan budaya Eropa.
Namun, dalam perjalanannya proses untuk bisa mencapai langkah gastrodiplomasi itu menemui berbagai rintangan budaya.
Salah satu rintangan budaya tersebut adalah adanya ketidakcocokan selera lidah kaum Eropa atas berbagai hidangan yang disajikan oleh Keraton disetiap kesempatan gelaran pesta dansa atau jamuan makan besar.
Hal ini kemudian menjadi suatu tantangan besar bagi Sri Sultan Hamengku Buwono VI untuk mencari solusi dalam mengatasi persoalan lidah dan selera makan para tamu Eropa-nya yang merasa dirinya adalah yang paling superior itu.
Solusi itu akhirnya berhasil ditemukan dari tangan dingin kelompok abdi dalem bernama abdi dalem Encik.
Artikel kali ini akan membahas sejarah mengenai rekam jejak kelompok abdi dalem Encik yang berjasa atas berhasilnya program gastrodiplomasi Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yang di satu sisi juga berhasil menancapkan pengaruh dan legitimasi atas kekayaan alam dan budaya yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta selama masa pendudukan.
Sebelum kita masuk ke pembahasan mengenai abdi dalam Encik dari segi sejarah dan jasa yang dihasilkan.