Berita mengenai isu pemerkosaan seharusnya bersifat positif dan melindungi korban, bukan dibentuk layaknya cerita stensilan.
Di tengah penetrasi internet, media online memainkan kunci penting dalam percepatan sirkulasi berita, yang pada akhirnya berdampak pada semakin fleksibelnya masyarakat dalam mengakses dan mengkonsumsi berita.
Hal ini, di satu sisi juga ikut mendorong lahirnya konten-konten yang semakin beragam dan semakin konvergen di setiap medianya. Salah satu konten yang semakin banyak berkembang akibat penetrasi media online adalah konten mengenai seksualitas.
Sebagai makhluk yang memiliki sense of humanity, kehidupan manusia tidak terlepas dari urusan seksualitas. Maka dari itu, tidak lah mengherankan jika fenomena seksualitas kerap kali dihadirkan di banyak media online sebagai suatu komoditas berita.
Akan tetapi, berbagai fenomena seksualitas kerap kali dibingkai dalam tensi pemberitaan yang rumpang terhadapnya, khususnya bagi berita yang berfokus pada pembahasan soal isu pemerkosaan.
Tidak jarang kita dapat menemukan adanya berita yang mendramatisir dan mempercantik isu-isu sensitif seperti ini, layaknya menggunakan judul-judul yang bombastis dan framing yang justru mengglorifikasi pelaku pemerkosa.
Lalu, mengapa isu-isu seksualitas, yang dalam konteks ini adalah isu pemerkosaan seringkali dibingkai oleh media dalam tensi yang mendeskreditkan korban, selayaknya cerita sentisilan yang menarik untuk diimajinasikan oleh para pembacanya?
Maka dari itu, dalam artikel ini, penulis akan mencoba untuk mencari tahu masalah tersebut dengan melakukan mini riset terhadap berbagai media online yang sering memberitakan isu-isu pemerkosaan dalam bingkai yang bombastis dan menyimpang.
Penulis akan menganalisis berita-berita yang kerap membingkai isu-isu pemerkosaan tersebut dan kemudian menganalisisnya secara lebih lanjut degan menggunakan pendekatan teori objektifikasi dan framing.
Pengantar singkat teori objektifikasi