Lihat ke Halaman Asli

Thomas Panji

TERVERIFIKASI

Content Writer

Melestarikan Kemiskinan di Layar Kaca

Diperbarui: 24 September 2021   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mengenai eksploitasi kemiskinan di televisi | Tirto.id

Kita harus akui bahwa kemiskinan mampu lestari karena adanya campur tangan dari media massa, yang salah satunya adalah televisi

Apakah pembaca pernah menyaksikan beberapa program acara televisi bertajuk reality show seperti halnya Jika Aku Menjadi, Mikrofon Pelunas Hutang, Uang Kaget, Minta Tolong, Bedah Rumah, dan lainnya? Lalu perasaan apa yang kemudian muncul di hati para pembaca, apakah merasa sedih, iba, simpati, terharu atau justru biasa saja dengan acara tersebut? Ya, tayangan-tayangan di atas memang bertujuan untuk membangkitkan perasaan emosional para audiens.

Perasaan emosional berfungsi sebagai bumbu untuk membuat acara-acara tersebut tampak lebih hidup dan menimbulkan kesan yang mendalam bagi mereka yang menyaksikannya. Seperti yang kita ketahui bersama, acara-acara seperti ini sangat berhasil di industri pertelevisian Indonesia. Mereka mampu meraup banyak keuntungan, seperti masuknya sponsor bernilai puluhan hingga miliaran rupiah, durasi tayang yang lebih lama, dan bahkan terdaftar dalam siaran prime time.

Meski acara-acara seperti ini berguna untuk menjadi pengingat dan refleksi bagi kita, khususnya masyarakat urban yang setiap harinya bersentuhan dengan berbagai permasalahan sosial seperti kemiskinan, yang kemudian dapat menggerakkan kita untuk berderma dan membantu mereka yang berkesusahan, namun, ada satu hal yang tidak disadari oleh kita semua, yakni tayangan-tayangan seperti ini sejatinya justru semakin merawat dan melestarikan kemiskinan.

Alih-alih sebagai gerakan sosial karitatif yang membangun dan bermanfaat bagi yang membutuhkan uluran tangan, acara-acara seperti ini justru membingkai dan menkonstruksikan kemiskinan seperti sebuah pertunjukan sirkus. Dalam ranah ilmu komunikasi, khususnya pada kajian media dan industri budaya, acara-acara seperti ini dapat dianalisis melalui konsep komodifikasi dan sturkturasi dalam ilmu ekonomi politik komunikasi.

Komdofikasi dalam konteks ini berguna untuk membantu kita dalam memahami pemanfaatan kemiskinan sebagai modal kapital bagi para pelaku industri media untuk mampu membuatnya menjadi suatu produk budaya yang dapat menghasilkan keuntungan (laba). Sedangkan, strukturasi berguna untuk melihat problematika yang terjadi dalam struktur dan agensi yang terdapat dalam konteks perkembangan industri media, terutama pada ruang lingkup program acara reality show.

Menurut Mosco (2009), komodifikasi adalah proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya, agar mampu menjadi suatu komoditas yang dapat dipertukarkan di pasar, di mana produsen (pemilik usaha) sudah merancang suatu nilai dari produk tersebut agar dapat menghasilkan keuntungan (laba) yang besar. Ada tiga bentuk komodifikasi dalam ekonomi politik komunikasi, dan di sini penulis secara khusus akan berfokus pada komodifikasi konten.

Komodifikasi konten adalah jenis komodifikasi yang bertujuan mengubah suatu isi pesan (konten) melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang penuh makna, hingga menjadi pesan (konten) yang dapat diperjualbelikan. Singkatnya, komodifikasi jenis ini berhubungan dengan konten yang sudah dibentuk dan dikreasikan sedemikian rupa, yang nantinya akan disebarluaskan untuk menjadi tayangan yang mampu menggaet banyak audiens dan memperoleh laba.

Sedangkan, strukturasi dapat dipahami sebagai sebuah proses sosial, di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan masing-masing bagian dari struktur tersebut mampu untuk bertindak dalam melayani bagian yang lain (Mosco, 2009). Terdapat dua kata kunci pada teori strukturasi. Pertama, yakni ‘struktur’ yang berarti aturan dan sumber yang digunakan pada produksi serta reproduksi sistem, dan yang kedua adalah ‘agensi’ yang berarti individu.

Giddens dalam Ashaf (2006) menjelaskan bahwa struktur dan agensi digambarkan seperti halnya dua sisi mata uang yang sama, di mana struktur dan agensi sama-sama memiliki sifat dialektik yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Sifat dialektik ini harus dipandang sebagai dualitas (duality) atau tak terpisahkan. Jika struktur dan agensi dipandang secara terpisah, maka hal tersebut akan menghasilkan dualisme dan kerancuan dalam struktur serta agensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline