Lihat ke Halaman Asli

Thomas Panji

TERVERIFIKASI

Content Writer

Netflix, Binge Watching, dan Kapitalisme

Diperbarui: 9 September 2022   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi binge watching yang terjadi selama pandemi korona | financerewind.com

Saat pandemi kita punya harapan untuk lebih banyak belajar dan mengasah kemampuan. Tapi, binge watching membuat semuanya sirna. 

Menonton film merupakan aktivitas yang dilakukan manusia untuk mengisi waktu luangnya. Ketika website dan aplikasi penyedia film berbasis streaming seperti Netflix muncul, lahirlah sebuah fenomena baru dalam industri film yang disebut sebagai binge watching. Istilah ini muncul ketika Netflix meluncurkan film series berjudul “House of Cards pada tahun 2013 silam. Tidak seperti siaran tv kabel, Netflix melakukan inovasi dengan merilis seluruh episode di satu waktu.

Istilah binge watching ternyata tidak hanya berlaku bagi para penikmat film di Netflix saja. Menurut pengertian Conlin, Billings dan Averset (2016), binge watching adalah keadaan dimana seseorang mengkonsumsi keseluruhan episode bahkan season dalam jumlah waktu yang kecil tapi ajeg. Ini berarti semua produk film ataupun tv series selain produk Netflix dapat masuk ke dalam kategori tersebut. Seperti halnya serial K-Drama, Anime, Bollywood atau produk hiburan lainnya.

Fenomena binge watching atau “menonton secara marathon” sampailah juga di Indonesia. Munculnya fenomena binge watching di Indonesia ataupun di seluruh dunia, salah satunya dipengaruhi oleh merebaknya pandemi Covid-19. Jumlah pelanggan Netflix di Indonesia yang pada kuartal ke-4 tahun 2019 sudah mencapai angka 8,8 juta, diprediksi masih akan terus bertambah lebih banyak lagi, seiring dengan merebaknya pandemi Covid-19 (Salsabilla, 2020).

Dari penjelasan di atas, muncul sebuah pertanyaan di benak penulis, sekaligus menjadi rumusan masalah diartikel ini. Apakah fenomena binge watching yang terjadi selama pandemi Covid-19 berkorelasi kuat dengan kapitalisme? 

Pertanyaan ini muncul karena menurut penulis ada sebuah hubungan khusus, dari fenomen binge watching yang bisa dijelaskan dengan menggunakan dua konsep pemikiran kritis, yakni leisure time (watu senggang) dan komodifikasi konsumen.

Pengertian dan Konsep Leisure Time

Leisure menurut Adorno dalam Suseno (2013), berasal dari bahasa latin Lice-reis yang berarti liburan. Pengertian ini mengalami pergeseran makna saat memasuki abad ke-18, dan berganti menjadi waktu luang. Pergeseran ini didasarkan pada berubahnya keadaan sosial dan budaya, karena perkembangan kapitalisme modern. Sehingga semakin ke depan, leisure memiliki turunan makna yang berarti waktu luang yang dimiliki di luar jam kerja.

Adanya pergeseran makna dari leisure membuat sejumlah akademisi melakukan studi leisure pada akhir tahun 1970-an. Studi tersebut melahirkan sebuah konsep, bahwa leisure memiliki korelasi kuat pada konsep kapitalisme dan mengarah pada marjinalisasi perempuan. Menikmati waktu luang pada waktu itu dianggap menjadi hal terbatas bagi perempuan. Karena waktu luang adalah hak bagi laki-laki untuk bersantai setelah seharian bekerja, dan tidak berlaku bagi perempuan.

Kapitalisme akhirnya berdampak pada terciptanya dominasi di kelas sosial secara ekonomi dan budaya. Hal inilah yang kemudian mendorong beberapa kritikus politik dari The Frankfurt School seperti Theodor Adorno, hadir untuk membicarakan tentang dominasi kapitalis yang tercipta dari konsep leisure. Adorno menarik perhatian pada tiga cara signifikan, dimana kapitalisme lewat leisure time justru ingin merusak dan menurukan derajat kita sebagai manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline